Rabu, 01 Januari 2014

Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan Daerah

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMERINTAHAN DAERAH
By: Dr. S. Agus Santoso, M.AP 
Makna Masyarakat
Korten (1986) bahwa istilah masyarakat yang secara populer merujuk pada sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama. Menurut Leach&Percy-Smith (2001) ada dua pendekatan untuk mendefinisikan masyarakat. Pertama, merumuskan masyarakat dari pola kehidupan dan pekerjaan orang-orang. Pendekatan ini menyiratkan adanya pembedaan antara masyarakat perkotaan atau pedesaan atau saling ketergantungan ekonomis antara kota dan desa. Pendekatan kedua, memusatkan perhatian pada cara orang mengidentifikasi dirinya dan cara mereka merasakan loyalitas.
        Masyarakat dalam pemerintahan daerah lebih diarahkan pada bagaimana orang-orang menyebut dirinya masyarakat, apakah sebagai warga, konsumen, dan pengguna layanan.



Makna Partsipasi
        Rahnema (1992) bahwa partisipasi sebagai ”the action or fact of partaking, having or forming a part of”. Dalam hal ini, partisipasi bersifat transitif atau intransitif, bermoral atau tak bermoral, bersifat dipaksa atau bebas, bersifat manipulatif atau spontan.
        Partsipasi transitif apabila berorientasi pada tujuan, partisipasi intransitif apabila berperan serta dengan tanpa tujuan yang jelas. Partisipasi memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan etika, partisipasi tak bermoral jika tujuan tidak sesuai dengan etika. Partisipasi sebagai tindakan bebas oleh subjek, bukannya terpaksa dilakukan atas nama partisipasi. Partisipasi manipulatif bahwa partisipan tidak merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu namun sesungguhnya diarahkan untuk berperan serta oleh di luar kendalinya.
Masyarakat Sebagai Pilar Utama dalam Pemerintahan Daerah
UU. 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU. 32 Tahun 2004, dari kedua UU tersebut pada prinsipnya mengedepankan masyarakat sebagai pihak utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap dipertahankan.
Penjelasan umum dalam UU. No. 22 Tahun 1999, ada empat tujuan yang hendak dicapai, yakni: memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas masyarakat, menumbuhkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Kemudian UU. No. 22 Tahun 1999 disempurnakan dengan UU. No. 32 Tahun 2004. Dalam UU ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Isi dua kebijakan tentang pemerintahan daerah tersebut jelas menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat. Hal ini dinyatakan secara tersirat dalam pengertian desentralisasi pada kedua undang-undang tersebut, intinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada masyarakat bukan pemerintah daerah.



Secara umum tujuan dalam UU. No. 22 Tahun 1999 dan
 UU. 32 Tahun 2004
UU. No. 22 Tahun 1999
UU. 32 Tahun 2004
·  Memberdayakan masyarakat
·  Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas masyarakat
·  Menumbuhkan peran serta masyarakat
·  Mengembangkan peran dan fungsi DPRD
·    Peningkatan pelayanan
·    Pemberdayaan
·    Peran serta Masyarakat

Box (1998) mengungkapkan bahwa terdapat empat prinsip yang dipergunakan untuk menjelaskan mengapa demokratisasi administrasi publik perlu dilakukan pada tingkatan pemerintahan daerah.
        Pertama adalah the scale principle, yang menjelaskan jika penyelenggaraan suatu fungsi ingin melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih besar maka sebaiknya diberikan pada tingkatan pemerintahan daerah karena lebih memungkinkan masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan efektif.
        Kedua adalah the democracy principle, yang menjelaskan bahwa pada dasarnya proses pemerintahan seharusnya melibatkan masyarakat. Prinsip menekankan perlunya pembahasan kebijakan dan pengambilan keputusan secara terbuka dan bebas. Partisipasi masyarakat merupakan kunci penyelenggaraan prinsip ini.
Ketiga adalah the accountability principle, yang menjelaskan bahwa pemerintahan pada dasarnya adalah milik masyarakat. Oleh karena itu, akuntabilitas publik berarti pertanggung jawaban kepada masyarakat sebagai pemilik pemerintahan. Untuk mencapai akuntabilitas publik dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan bersama dengan para wakilnya dan administrator publik. Akuntabilitas public menuntut adanya keterkaitan langsung warga masyarakat dengan penyusunan dan pelaksanaan program-program.
Keempat adalah the rationality principle, yang menjelaskan bahwa proses partisipasi publik dalam pemerintahan daerah haruslah ditanggapi secara rasional. Pengertian rasional dalam hal ini lebih mengacu pada kesadaran dan pengakuan bahwa proses partisipasi membutuhkan waktu yang memadai, pemikiran yang cermat, kesempatan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapatnya, perlunya mendengar beragam pendapat yang muncul serta penghargaan atas perbedaan pendapat.
Partisipasi Masyarakat dalam Praktek Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan daerah secara partisipatoris pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Norton (1994) menjelaskan bahwa ada empat bentuk partisipasi masyarakat dalam praktek pemerintahan daerah :
1.  adalah referenda yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap isu-isu vital di daerah tersebut.
2.  adalah konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai kebutuhan dan tuntutan lokal.
3.  adalah penempatan pejabat lokal yang diisi berdasarkan prosedur pemilihan (elected member) sebagai bentuk pemerintahan perwakilan sehingga para pejabat memiliki akuntabilitas yang lebih besar kepada masyarakat.
4.  adalah melakukan desentralisasi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil dalam lingkup daerah itu sendiri. Bentuk yang keempat ini seringkali disebut dengan decentralization within cities. Dalam hal ini secara luas sehingga meliputi desentralisasi secara politis, administratif, fungsional, maupun ekonomis. Desentralisasi secara ekonomis berarti terjadi pembentukan badan usaha milik daerah atau penyerahan sebagaian fungsi pemerintah daerah kepada usaha swasta. Desentralisasi secara fungsional berarti pembentukan lembaga fungsional untuk menjalan urusan tertentu dari pemerintah daerah. Dalam kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, decentralization within cities diterjemahkan secara langsung dalam dua pengertian yakni desentralisasi secara administratif dan politik.
Desentralisasi secara administrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah diwujudkan dalam bentuk pemerintahan kelurahan. Pemerintahan kelurahan pada dasarnya dipilih dan dibentuk untuk memberikan layanan kepada masyarakat yang memiliki corak perkotaan. Nilai dasar yang hendak dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintah kelurahan adalah efisiensi struktural sehingga kebutuhan masyarakat perkotaan yang lebih bersifat majemuk, dinamis, individualistis lebih terpenuhi.
Desentralisasi secara politis dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menyerahkan sebahagian urusan dan dana yang ada kepada pemerintah desa. Pemerintahan desa dipilih dan dibentuk dengan dasar melestarikan nilai-nilai tradisional yang sudah berkembang dalam corak masyarakat pedesaan. Nilai dasar yang hendak dikembangkan dalam pemerintahan desa adalah partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar