PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMERINTAHAN DAERAH
By: Dr. S. Agus
Santoso, M.AP
Makna
Masyarakat
Korten (1986) bahwa istilah masyarakat yang secara
populer merujuk pada sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama.
Menurut Leach&Percy-Smith (2001) ada dua pendekatan untuk mendefinisikan
masyarakat. Pertama, merumuskan
masyarakat dari pola kehidupan dan pekerjaan orang-orang. Pendekatan ini
menyiratkan adanya pembedaan antara masyarakat perkotaan atau pedesaan atau
saling ketergantungan ekonomis antara kota dan desa. Pendekatan kedua,
memusatkan perhatian pada cara orang mengidentifikasi dirinya dan cara mereka
merasakan loyalitas.
Masyarakat
dalam pemerintahan daerah lebih diarahkan pada bagaimana orang-orang menyebut
dirinya masyarakat, apakah sebagai warga, konsumen, dan pengguna layanan.
Makna Partsipasi
Rahnema
(1992) bahwa partisipasi sebagai ”the
action or fact of partaking, having or forming a part of”. Dalam hal ini,
partisipasi bersifat transitif atau intransitif, bermoral atau tak bermoral,
bersifat dipaksa atau bebas, bersifat manipulatif atau spontan.
Partsipasi transitif apabila
berorientasi pada tujuan, partisipasi intransitif apabila berperan serta dengan
tanpa tujuan yang jelas. Partisipasi memenuhi sisi moral apabila tujuan yang
hendak dicapai sesuai dengan etika, partisipasi tak bermoral jika tujuan tidak
sesuai dengan etika. Partisipasi sebagai tindakan bebas oleh subjek, bukannya
terpaksa dilakukan atas nama partisipasi. Partisipasi manipulatif bahwa partisipan
tidak merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu namun sesungguhnya diarahkan untuk
berperan serta oleh di luar kendalinya.
Masyarakat Sebagai Pilar Utama dalam
Pemerintahan Daerah
UU.
22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU. 32 Tahun 2004, dari kedua
UU tersebut pada prinsipnya mengedepankan masyarakat sebagai pihak utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap dipertahankan.
Penjelasan umum dalam UU. No. 22 Tahun 1999, ada empat
tujuan yang hendak dicapai, yakni: memberdayakan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreatifitas masyarakat, menumbuhkan peran serta masyarakat, dan
mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Kemudian UU. No. 22 Tahun 1999
disempurnakan dengan UU. No. 32 Tahun 2004. Dalam UU ini menegaskan bahwa
pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Isi dua kebijakan tentang pemerintahan daerah tersebut jelas
menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat. Hal ini dinyatakan secara
tersirat dalam pengertian desentralisasi pada kedua undang-undang tersebut,
intinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada masyarakat bukan
pemerintah daerah.
Secara
umum tujuan dalam UU. No. 22 Tahun 1999 dan
UU. 32 Tahun 2004
UU. No. 22 Tahun 1999
|
UU. 32 Tahun 2004
|
· Memberdayakan masyarakat
· Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas masyarakat
· Menumbuhkan peran serta masyarakat
· Mengembangkan peran dan fungsi DPRD
|
· Peningkatan pelayanan
· Pemberdayaan
· Peran serta Masyarakat
|
Box (1998) mengungkapkan bahwa terdapat empat prinsip yang
dipergunakan untuk menjelaskan mengapa demokratisasi administrasi publik perlu
dilakukan pada tingkatan pemerintahan daerah.
Pertama adalah the scale principle, yang menjelaskan jika penyelenggaraan
suatu fungsi ingin melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih besar maka
sebaiknya diberikan pada tingkatan pemerintahan daerah karena lebih
memungkinkan masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan efektif.
Kedua adalah the democracy principle, yang menjelaskan bahwa pada
dasarnya proses pemerintahan seharusnya melibatkan masyarakat. Prinsip
menekankan perlunya pembahasan kebijakan dan pengambilan keputusan secara
terbuka dan bebas. Partisipasi masyarakat merupakan kunci
penyelenggaraan prinsip ini.
Ketiga adalah the accountability principle,
yang menjelaskan bahwa pemerintahan pada dasarnya adalah milik masyarakat.
Oleh karena itu, akuntabilitas publik berarti pertanggung jawaban kepada
masyarakat sebagai pemilik pemerintahan. Untuk mencapai akuntabilitas publik
dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan bersama dengan para
wakilnya dan administrator publik. Akuntabilitas public menuntut adanya
keterkaitan langsung warga masyarakat dengan penyusunan dan pelaksanaan
program-program.
Keempat adalah the rationality principle, yang
menjelaskan bahwa proses partisipasi publik dalam pemerintahan daerah haruslah
ditanggapi secara rasional. Pengertian rasional dalam hal ini lebih mengacu
pada kesadaran dan pengakuan bahwa proses partisipasi membutuhkan waktu yang
memadai, pemikiran yang cermat, kesempatan kepada masyarakat untuk menyatakan
pendapatnya, perlunya mendengar beragam pendapat yang muncul serta penghargaan
atas perbedaan pendapat.
Partisipasi Masyarakat dalam Praktek Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah secara partisipatoris pada dasarnya dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Norton (1994) menjelaskan bahwa ada empat bentuk
partisipasi masyarakat dalam praktek pemerintahan daerah :
1. adalah
referenda yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap isu-isu vital di
daerah tersebut.
2. adalah konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai
kebutuhan dan tuntutan lokal.
3. adalah penempatan pejabat lokal yang diisi berdasarkan
prosedur pemilihan (elected member) sebagai bentuk pemerintahan
perwakilan sehingga para pejabat memiliki akuntabilitas yang lebih besar kepada
masyarakat.
4. adalah melakukan desentralisasi kepada unit-unit
pemerintahan yang lebih kecil dalam lingkup daerah itu sendiri. Bentuk
yang keempat ini seringkali disebut dengan decentralization within cities.
Dalam hal ini secara luas sehingga meliputi desentralisasi secara politis,
administratif, fungsional, maupun ekonomis. Desentralisasi secara ekonomis
berarti terjadi pembentukan badan usaha milik daerah atau penyerahan sebagaian
fungsi pemerintah daerah kepada usaha swasta. Desentralisasi secara fungsional
berarti pembentukan lembaga fungsional untuk menjalan urusan tertentu dari
pemerintah daerah. Dalam kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, decentralization
within cities diterjemahkan secara langsung dalam dua pengertian yakni
desentralisasi secara administratif dan politik.
Desentralisasi secara administrasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah diwujudkan dalam bentuk pemerintahan kelurahan. Pemerintahan
kelurahan pada dasarnya dipilih dan dibentuk untuk memberikan layanan kepada
masyarakat yang memiliki corak perkotaan. Nilai dasar yang hendak dikembangkan
dalam penyelenggaraan pemerintah kelurahan adalah efisiensi struktural sehingga
kebutuhan masyarakat perkotaan yang lebih bersifat majemuk, dinamis,
individualistis lebih terpenuhi.
Desentralisasi
secara politis dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menyerahkan sebahagian
urusan dan dana yang ada kepada pemerintah desa. Pemerintahan desa dipilih dan
dibentuk dengan dasar melestarikan nilai-nilai tradisional yang sudah
berkembang dalam corak masyarakat pedesaan. Nilai dasar yang hendak
dikembangkan dalam pemerintahan desa adalah partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar