Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas dapat dipahami banyak istilah tergantung
pada pendekatan keilmuan yang digunakan. Menurut Chandler and Plano
(1992) mengartikan akuntabilitas (accountability)
sebagai “refers to the institution of
checks and balances in an administratitive system”. Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “checks and balance” dalam system
administrasi. Akuntabilitas berarti menyelenggarakan penghitungan (accout) terhadap sumber daya atau
kewenangan yang digunakan. Sedangkan Ghartey dalam Sedarmayanti (2009)
mengatakan akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan
yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang
mana, dan bagaimana. Akuntabilitas juga merupakan instrument untuk kegiatan kontrol
terutama dalam pencapaian hasil pelayanan public. Menurut Carino dalam
Sedarmayanti (2009) bahwa akuntabilitas merupakan evolusi kegiatan yang
dilaksanakan oleh seorang petugas baik masih berada pada jalur otoritasnya atau
sudah berada jauh di luar tanggung jawab dan kewenangannya.
Akuntabilitas publik merupakan
landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Jadi akuntabilitas publik yang merupakan
faktor utama untuk mewujudkan good
governance memerlukan adanya transparansi. Berdasarkan pendapat Jabra&Dwivedi (1989)
memetakan akuntabilitas ke dalam lima
macam yaitu: Pertama, administrative/organization
accountability yaitu diperlukan adanya hubungan hirarkis yang tegas di
antara pusat-pusat pertanggung jawaban dengan unit-unit di bawahnya. Hubungan-hubungan
hirarkis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam bentuk
aturan-aturan organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk
jaringan hubungan informal. Prioritas yang ditetapkan pada level atas diikuti,
dan control pengawasan dilaksanakan secara intensif dengan pemahaman tentang
keharusan mematuhi perintah. Pengabaian perintah akan mendatangkan sanksi dari
peringatan informal sampai pemecatan. Kedua, legal accountability yaitu bentuk pertanggung jawaban setiap
tindakan administrative dari aparat pemerintah di badan legislatif dan atau di
depan mahkamah. Pelanggaran kewajiban-kewajiban hukum ataupun ketidak
mampuannya memenuhi keinginan badan legislatif, maka pertanggung jawaban aparat
atas tindakan-tindakan dapat dilakukan di depan pengadilan ataupun lewat proses
revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan undang-undang (juducal review).
Ketiga, political
accountability yaitu legitmasi program publik dan daya tahan organisasi
yang bertanggungjawab atasnya, menjadi urusan akuntabilitas politik. Pada
sistem pemerintahan demokrasi, administrasi berkewajiban mengakui kekuasaan
otoritas politik untuk mengatur, menetapkan prioritas, medistribusikan kembali
sumber daya, dan menjamin kepatuhan atas perintah. Dalam banyak hal,
akuntabilitas politik mengalahkan akuntabilitas administrasi atau organisasi,
karena politikus yang terpilih memiliki
tanggung jawab untuk menjalankan pekerjaan. Keempat, professional accountability yaitu sehubungan dengan
semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat
professional (seperti dokter, insinyur, pengacara, ekonom, akuntan, pekerja
sosial dsb) mengharap dapat memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam
melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik. Dan jika
tidak dapat menjalankan tugasnya mereka mengharapkan memperoleh masukan untuk
perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik profesinya dengan
kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan keduanya maka mereka
harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepeda kepentingan publik. Kelima,
moral accountability yaitu bahwa
pemerintah memang selayaknya bertanggung jawab secara moral atas
tindakan-tindakannya. Landasan bagi setiap tindakan pegawai pemerintah
seharusnya diletakkan pada prinsip-prinsip moral dan etika sebagaimana diakui
oleh konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh public
sebagai norma dan perilaku sosial yang telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja
kalau public menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan pegawai
pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral.
Sedangkan merujuk pada pendapat Paul (1991)
mengelompokkan jenis akuntabilitas kedalam tiga jenis. Pertama, democratic accoutability yaitu merupakan perpaduan antara akuntabilitas
administrative dan politik, dimana para penyelenggara layanan publik
bertanggung jawab kepada menteri-menteri dan kepala pemerintahan kemudian
secara berjenjang mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya pada
pemimpin-pemimpin politik misal dilembaga-lembaga legislatif. Kedua, professional accountability yaitu dalam
akuntabilitas professional para pakar, professional dan tenokrat melaksanakan
tugas-tugasnya dengan dilandasi oleh norma-norma dan standard profesinya.
Mereka diperkenankan untuk menentukan public intrest sesuai dengan norma-norma
dan standar yang dikaitkan dengan kepentingan masyarakat. Ketiga, legal accountability yaitu kategori
akuntabilitas ini, pelaksanaan ketentuan hukum disesuaikan untuk kepentingan public goods dan public service yang memang dituntut oleh seluruh masyarakat. Dengan
akuntabilitas ini maka petugas pelayanan publik akan dapat dituntut pengadilan
apabila mereka gagal melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana yang diharapkan
oleh masyarakat. Malpraktek dan pelayanan seadanya kepada masyarakat akan
ditunjukkan pada laporan akuntabilitas legal.
Merujuk pada pendapat Carino (1991), Salleh dan Iqbal
mengemukakan bahwa akuntabilitas dibagi menjadi dua. Pertama, akuntabilitas
internal yaitu merupakan pertanggungjawaban perbuatan individu kepada Tuhan dan
disebut juga spiritual accountability. Kedua, akuntabilitas eksternal yaitu
merupakan pertanggungjawaban individu atau organisasi kepada lingkungan dan
masyarakat sekitar sebagai dampak langsung maupun tidak langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar