Rabu, 01 Januari 2014

Konsep Akuntabilitas

Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas dapat dipahami banyak istilah tergantung pada pendekatan keilmuan yang digunakan. Menurut Chandler and Plano (1992) mengartikan akuntabilitas (accountability) sebagai “refers to the institution of checks and balances in an administratitive system”. Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “checks and balance” dalam system administrasi. Akuntabilitas berarti menyelenggarakan penghitungan (accout) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Sedangkan Ghartey dalam Sedarmayanti (2009) mengatakan akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Akuntabilitas juga merupakan instrument untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pelayanan public. Menurut Carino dalam Sedarmayanti (2009) bahwa akuntabilitas merupakan evolusi kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik masih berada pada jalur otoritasnya atau sudah berada jauh di luar tanggung jawab dan kewenangannya.
Akuntabilitas publik merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan.  Jadi akuntabilitas publik yang merupakan faktor utama untuk mewujudkan good governance memerlukan adanya transparansi. Berdasarkan pendapat Jabra&Dwivedi (1989) memetakan  akuntabilitas ke dalam lima macam yaitu: Pertama, administrative/organization accountability yaitu diperlukan adanya hubungan hirarkis yang tegas di antara pusat-pusat pertanggung jawaban dengan unit-unit di bawahnya. Hubungan-hubungan hirarkis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam bentuk aturan-aturan organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk jaringan hubungan informal. Prioritas yang ditetapkan pada level atas diikuti, dan control pengawasan dilaksanakan secara intensif dengan pemahaman tentang keharusan mematuhi perintah. Pengabaian perintah akan mendatangkan sanksi dari peringatan informal sampai pemecatan. Kedua, legal accountability yaitu bentuk pertanggung jawaban setiap tindakan administrative dari aparat pemerintah di badan legislatif dan atau di depan mahkamah. Pelanggaran kewajiban-kewajiban hukum ataupun ketidak mampuannya memenuhi keinginan badan legislatif, maka pertanggung jawaban aparat atas tindakan-tindakan dapat dilakukan di depan pengadilan ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan undang-undang (juducal review).
Ketiga, political accountability yaitu legitmasi program publik dan daya tahan organisasi yang bertanggungjawab atasnya, menjadi urusan akuntabilitas politik. Pada sistem pemerintahan demokrasi, administrasi berkewajiban mengakui kekuasaan otoritas politik untuk mengatur, menetapkan prioritas, medistribusikan kembali sumber daya, dan menjamin kepatuhan atas perintah. Dalam banyak hal, akuntabilitas politik mengalahkan akuntabilitas administrasi atau organisasi, karena politikus yang terpilih  memiliki tanggung jawab untuk menjalankan pekerjaan. Keempat, professional accountability yaitu sehubungan dengan semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat professional (seperti dokter, insinyur, pengacara, ekonom, akuntan, pekerja sosial dsb) mengharap dapat memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik. Dan jika tidak dapat menjalankan tugasnya mereka mengharapkan memperoleh masukan untuk perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik profesinya dengan kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan keduanya maka mereka harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepeda kepentingan publik. Kelima, moral accountability yaitu bahwa pemerintah memang selayaknya bertanggung jawab secara moral atas tindakan-tindakannya. Landasan bagi setiap tindakan pegawai pemerintah seharusnya diletakkan pada prinsip-prinsip moral dan etika sebagaimana diakui oleh konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh public sebagai norma dan perilaku sosial yang telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja kalau public menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral.
Sedangkan merujuk pada pendapat Paul (1991) mengelompokkan jenis akuntabilitas kedalam tiga jenis. Pertama, democratic accoutability yaitu  merupakan perpaduan antara akuntabilitas administrative dan politik, dimana para penyelenggara layanan publik bertanggung jawab kepada menteri-menteri dan kepala pemerintahan kemudian secara berjenjang mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya pada pemimpin-pemimpin politik misal dilembaga-lembaga legislatif. Kedua, professional accountability yaitu dalam akuntabilitas professional para pakar, professional dan tenokrat melaksanakan tugas-tugasnya dengan dilandasi oleh norma-norma dan standard profesinya. Mereka diperkenankan untuk menentukan public intrest sesuai dengan norma-norma dan standar yang dikaitkan dengan kepentingan masyarakat. Ketiga, legal accountability yaitu kategori akuntabilitas ini, pelaksanaan ketentuan hukum disesuaikan untuk kepentingan public goods dan public service yang memang dituntut oleh seluruh masyarakat. Dengan akuntabilitas ini maka petugas pelayanan publik akan dapat dituntut pengadilan apabila mereka gagal melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Malpraktek dan pelayanan seadanya kepada masyarakat akan ditunjukkan pada laporan akuntabilitas legal.
Merujuk pada pendapat Carino (1991), Salleh dan Iqbal mengemukakan bahwa akuntabilitas dibagi menjadi dua. Pertama, akuntabilitas internal yaitu merupakan pertanggungjawaban perbuatan individu kepada Tuhan dan disebut juga spiritual accountability. Kedua, akuntabilitas eksternal yaitu merupakan pertanggungjawaban individu atau organisasi kepada lingkungan dan masyarakat sekitar sebagai dampak langsung maupun tidak langsung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar