Indikator perekonomian adalah data yang digunakan untuk menentukan
perkembangan ekonomi suatu negara
yang dikeluarkan oleh pemerintah di negara bersangkutan. Indikator ekonomi digunakan sebagai pertanda tentang perkembangan
pembangunan di masa lampau maupun untuk masa mendatang . Indikator ekonomi memberikan gambaran secara
makro dan terkadang juga menjadi
penentu aspek pemerataan pembangunan. Ada
banyak indicator perekonomian suatu Negara, antara lain :
a.
Inflasi
Inflasi adalah suatu proses
meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang
dapat disebabkan oleh berbagai factor antara lain, konsumsi masyarakat yang
meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan
spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi
barang. Dengan kata lain,
inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang
secara kontinue.
Inflasi
dapat disebabkan oleh dua hal yaitu :
v Tarikan permintaan (kelebihan
likuiditas/uang/alat tukar)
v Desakan (tekanan) produksi dan
distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan juga termasuk kurangnya
distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam
kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi
dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh
Pemerintah (Government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif),
kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.
b.
Ekspor dan Impor
Ekspor adalah kegiatan menjual barang atau
jasa kepada negara lain
Impor adalah kegiatan membeli barang
atau jasa dari negara lain
Produk ekspor Indonesia :
Produk ekspor Indonesia meliputi hasil produk pertanian,
hasil hutan, hasil perikanan, hasil pertambangan, hasil industri dan begitupun
juga jasa.
a. Hasil Pertanian
Contoh : karet,
kopi kelapa sawit, cengkeh,teh,lada,kina,tembakau dan cokelat.
b. Hasil Hutan
Contoh : kayu
dan rotan. Ekspor kayu atau rotan tidak boleh dalam bentuk kayu
gelondongan atau bahan mentah, namun dalam bentuk barang setengah jadi maupun
barang jadi, seperti mebel.
c. Hasil Perikanan
Hasil perikanan yang banyak di ekspor merupakan hasil dari
laut. produk ekspor hasil perikanan, antara lain ikan tuna, cakalang, udang dan
bandeng.
d. Hasil Pertambangan
Contoh : barang
tambang yang di ekspor timah, alumunium, batu bara tembaga dan emas.
e. Hasil Industri
Contoh : semen,
pupuk, tekstil, dan pakaian jadi.
f. Jasa
Dalam bidang jasa, Indonesia mengirim tenaga kerja keluar
negeri antara lain ke malaysia dan negara-negara timur tengah.
c. Harga Gabah
Rata-rata harga gabah di tingkat
petani pada November 2008 dibandingkan Oktober 2008 untuk kualitas Gabah Kering
Giling (GKG) keadaannya relatif stabil, kualitas Gabah Kering Panen (GKP)
mengalami kenaikan hanya sebesar 0,08 persen, sedangkan kualitas rendah/di luar
kelompok kualitas mengalami penurunan sebesar 1,50 persen.
Harga gabah terendah di tingkat
petani sebesar Rp 1.975,- per kg dijumpai di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa
Tengah (kualitas rendah). Harga tertinggi sebesar Rp 3.400,- per kg dijumpai di
Kabupaten Serdang Bedage dan Labuhan Batu, Provinsi Sumatera Utara (kualitas
GKP).
d.
Nilai
Tukar Petani
Pada bulan Oktober 2008, Nilai Tukar
Petani Tanaman Pangan (NTPP) tercatat 97,64. Nilai Tukar Petani Hortikultura
(NTPH) 97,08, Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) 102,12; Nilai
Tukar Petani Peternakan (NTPT) 101,75; dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) 103,01.
Secara gabungan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional sebesar 99,20 yang berarti
mengalami penurunan sebesar 2,45 persen bila dibandingkan dengan bulan
sebelumnya.
Pengertian Nilai Tukar Petani (NTP)
adalah Rasio antara Indeks Harga yang diterima Petani dengan Indeks Harga yang
dibayar untuk keperluan konsumsi rumah tangga serta keperluan produksi
pertanian, yang dinyatakan dalam persen. NTP merupakan indikator yang digunakan
untuk melihat tingkat kesejahteraan petani.
Interpretasi angka NTP:
·
NTP > 100 : Daya beli petani lebih baik dari daya beli
petani pada saat tahun dasar
·
NTP = 100 : Daya beli petani sama dengan daya beli petani
pada saat tahun dasar
·
NTP < 100 : Daya beli petani lebih rendah dari daya beli
petani pada saat tahun dasar
Untuk NTP nasional bulan oktober
2008 sebesar 99,20 yang berarti daya beli petani lebih rendah dari pada daya
beli petani pada tahun dasar. Tahun dasar yang digunakan adalah Tahun 2007.
Penurunan NTP ini disebabkan terjadinya penurunan harga hasil produksi
pertanian, di sisi lain harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga
maupun untuk keperluan produksi pertanian naik.
e.
Upah
Buruh
Upah nominal harian buruh tani
Nasional pada Oktober 2008 naik sebesar 0,25 persen dibanding upah September
2008, yaitu dari Rp 35.455,- menjadi Rp 35.554,- per hari. Secara riil
mengalami penurunan sebesar 0,33 persen
Upah nominal harian buruh bangunan
(tukang bukan mandor) pada November 2008 naik 1,76 persen dibanding upah Oktober
2008, yaitu dari Rp 52.440,- menjadi Rp 53.362,- per hari. Secara riil naik
sebesar 1,63 persen.
Upah nominal bulanan buruh industri
pada triwulan II-2008 naik sebesar 3,39 persen dibanding upah triwulan I-2008
yaitu dari Rp 1.189.270,- menjadi Rp 1.229.580,- per bulan, secara riil turun
1,05 persen. Dibanding upah triwulan II-2007 (year on year), upah
nominal naik 22,50 persen.
Perubahan upah riil menggambarkan perubahan daya beli dari
pendapatan yang diterima buruh seperti buruh tani, buruh informal perkotaan,
buruh industri yaitu kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Semakin tinggi
upah riil maka semakin tinggi daya belu upah buruh, dan sebaliknya.
f. Pariwisata
Jumlah wisatawan mancanegara
(wisman) yang datang ke Indonesia pada Oktober 2008 mencapai 529,4 ribu orang
atau naik 21,34 persen dibandingkan jumlah wisman Oktober 2007 sebanyak 436,3
ribu orang. Dibanding September 2008 mengalami kenaikan sebesar 5,66 persen.
Tingkat penghunian kamar (TPK) hotel
berbintang di 14 provinsi pada September 2008 mencapai rata-rata 42,66 persen
atau turun 12,53 poin dibanding TPK Agustus 2008 yang besarnya 55,19 persen.
TPK hotel berbintang di Bali turun 1,25 poin, yaitu dari 69,94 persen pada
Agustus 2008 menjadi 68,69 persen pada September 2008.
Rata-rata lama menginap tamu asing
dan Indonesia pada hotel berbintang di 14 Provinsi selama September 2008 adalah
2,57 hari, naik 0,51 hari dibanding Agustus 2008.
Data
di atas menunjukkan bahwa jumlah wisman pada periode Januari - Oktober 2008
meningkat 13,07% dibanding jumlah wisman pada periode yang sama tahun 2007. Hal
ini merupakan salah satu indikator bahwa masyarakat internasional memandang
situasi di Indonesia semakin aman. Kepercayaan masyarakat internasional
terhadap keamanan di Indonesia juga tercermin dari semakin lamanya wisman
tinggal di hotel-hotel.
B.
SUMBER-SUMBER
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
Sumber pertumbuhan
ekonomi suatu negara atau suatu wilayah dapat dilihat atau diukur dari tiga
pendekatan yaitu, pendekatan faktor produksi (Neo Klasik), pendekatan sektoral
dan pendekatan pengeluaran yang meliputi konsumsi, investasi, pengeluaran
pemerintah dan selisih ekspor dengan impor. Dalam pendekatan faktor produksi,
sumber pertumbuhan ekonomi dilihat dari faktor-faktor produksi yaitu modal (capital),
tenaga kerja (man power) dan kemajuan teknologi (technology progress).
Selanjutnya, untuk melihat sumber pertumbuhan ekonomi dari pendekatan sektoral
yaitu dilihat dari sektor-sektor ekonomi. Sektor ekonomi dalam hal ini dapat
dibagi dalam 3 sektor saja yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan),
sektor sekunder dan kontruksi serta sektor tersier (jasa-jasa).
1. Pertumbuhan Ekonomi dari Faktor Produksi
Untuk mengukur berapa
besar kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu perekono-mian dapat digunakan model Neo-Klasik dari Robert Solow dengan
menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang telah diubah dalam bentuk linear
yaitu sebagai berikut:
Ln Y = ln a + β ln K + l
ln L + e
Selanjutnya, untuk
mengetahui besarnya kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka model tersebut digunakan dengan beberapa
perubahan. Untuk variabel modal diprediksi dengan tingkat investasi total (investasi
asing, investasi swasta dan investasi pemerintah) dengan menggunakan
data tahun 1969–1993.
2. Sumber Pertumbuhan dengan Pendekatan Struktural
Menganalisis sumber pertumbuhan ekonomi
dengan meng-gunakan pendekatan struktural berbeda dengan pendekatan faktor
produksi seperti pada teori pertumbuhan Klasik maupun pada teori pertumbuhan
Neo-Klasik. Pendekatan struktural didasarkan pada adanya perbedaan
produktivitas diantara sektor-sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bukan hanya
berasal dari peningkatan secara keseluruhan dari faktor produksi (input),
tetapi juga berasal dari pengalokasian sumber-sumber daya pada sektor-sektor
produktif. Pembangunan ekonomi harus bertujuan untuk menemukan sektor-sektor
yang mempunyai kaitan total paling besar (Jhingan. 1990;247).
Bentuk analisis komperatif struktural ini
telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Kuznets pada tahun 1957. Dalam
penelitiannya, Kuznets melakukan identifikasi terhadap sejumlah ciri struktural
yang umum (stylized facts) yang mengisyaratkan adanya berbagai kendala
pokok yang mempengaruhi keberha-silan proses perubahan (transformation).
Dalam analisisnya, Kuznets melakukan pemilihan komoditi dan sektor menurut pola
permintaan, sifat dapat-tidaknya diperdagangkan komoditi tersebut dan
penggunaan faktor produksi.
3. Sumber Pertumbuhan Pendekatan Pengeluaran
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya
bahwa, pertum-buhan ekonomi dapat diukur dari perkembangan PDB dari tahun ke
tahun, sedangkan untuk menghitung PDB dapat digunakan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan pengeluaran atau penggunaan berdasarkan persamaan
identitas Y = C + I + G + X – M, pendekatan faktor
produksi (Y = fungsi dari Kapital, Tenaga Kerja, dan Teknologi) dan pendekatan
sektoral. Pengukuran sumber-sumber pertumbuhan dengan pendekatan produksi
dan sektoral telah diungkapkan pada uraian di atas. Berikut ini akan dilihat
pula berapa besar kontribusi masing-masing unsur pengeluaran agregat terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk analisis ini, hanya digunakan tahun-tahun
setelah masa krisis ekonomi Indonesia pada pertengahan tahun 1997 lalu.
C.
MENUJU PERUBAHAN SISTEM EKONOMI
a.
Indikator
Utama Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia
Indikator yang
dipakai selama ini untuk mengevaluasi kinerja pembangunan sektor pertanian
antara lain adalah Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja,
penyedia devisa dan peranannya menurunkan jumlah penduduk miskin
Fakta empiris
menunjukkan bahwa sektor agribisnis merupakan sektor yang paling tangguh dalam
menghadapi krisis dan paling berjasa dalam menampung pengangguran sebagai
akibat krisis ekonomi (Syafa’at, 2000). Ketangguhan sektor agrobisnis
diindikasikan oleh kemampuannya untuk tumbuh secara positif (0.22 %) pada saat krisis
(1998) sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang
sangat hebat, yaitu sebesar 13.7 persen. Konsekuensi kontraksi ekonomi adalah
penurunan penyerapan tenaga kerja nasional sebesar 2.13 persen, atau sebesar 6
429 500 orang. Semua sektor ekonomi (kecuali listrik) mengalami penurunan
penyerapan tenaga kerja, sementara itu sektor agribisnis justru mampu
meningkatkan kapasitas penyerapan tanaga kerja sebanyak 432 350 orang.
b.
Indikator
Utama Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian
menjadi bagian utama dalam proses pembangunan nasional, khususnya sejak tahun
enampuluhan. Menurut Mosher dalam Mubyarto (1989) ada lima syarat mutlak
yang memungkinkan terjadinya pembangunan pertanian yaitu :
(1) adanya pasar untuk hasil-hasil pertanian,
(2) teknologi yang senantiasa berkembang,
(3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat
produksi secara lokal,
(4) adanya perangsang produksi bagi petani,
dan
(5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan
kontinu.
Selain itu ada syarat lain memperlancar
proses pembangunan pertanian, yaitu:
(1) pendidikan
pembangunan,
(2) kredit
produksi,
(3) kegiatan
gotong-royong petani,
(4) perbaikan
dan perluasan tanah pertanian, dan
(5) perencanaan
nasional pembangunan pertanian.
c.
Pemanfaatan
Hasil Indikator Utama untuk Kebijakan Pembangunan
Dampak positif
dari pembangunan pertanian adalah meningkatnya ketersediaan pangan (pokok)
serta harga yang sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat. Akibatnya akan
menguatkan tingkat ketahanan pangan. Dengan cukup pangan diharapkan kualitas
SDM dapat ditingkatkan. Disamping itu, meningkatnya ketahanan pangan diharapkan
dapat mengurangi kasus rawan pangan. Bagi petani, dampak dari pembangunan
pertanian akan memperluas kesempatan kerja dan akan memberikan kestabilan pada
konsumsi dan pendapatan petani sehingga diharapkan akan mengurangi jumlah
penduduk miskin.
Walaupun
pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun dampak negatif
perlu juga diperhatikan seperti dampak negatif dari akumulasi penggunaan pupuk
kimia, meningkatnya pendapatan akan berpengaruh terhadap penyehatan lingkungan,
dan lain-lain. Selain itu, faktor kelembagaan juga sangat berperan dalam
meningkatkan usaha pertanian dimana partisipasi pemerintah maupun swasta
ataupun lembaga ekonomi tradisional snagat diharapkan dalam menggerakan
ekonomi, seperti dukungan kelembagaan kredit atau dana pemerintah. Dari uraian
seperti di atas, muncul beberapa indikator sebagai tolok ukur dalam menelaah
kinerja pembangunan pertanian.
Untuk mewujudkan
konsistensi kinerja pembangunan pertanian seperti uraian di atas, maka
indikator pembangunan pertanian akan terkait dengan :
(a) kontribusi
terhadap perekonomian nasional,
(b) ketahanan
pangan,
(c)
kesejahteraan petani,
(d)
kualitas lingkungan hidup, dan
(e)
kelembagaan.
Disamping
itu, menurut Wilson dan Tyrchniewicz (1995), kriteria dalam penggunan
sumberdaya agar pembangunan pertanian yang berkelanjutan adalah terkait dengan
:
(a)
managemen,
(b)
konservasi,
(c)
rehabilitasi,
(d)
pasar yang sehat (market viability),
(e)
biaya internal,
(f)
Inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi,
(g)
kebijakan perdagangan,
(h)
pertimbangan kemasyarakatan (societal considerations) dan
(i)
reaksi global (global responsibility).
Berdasarkan
uraian di atas maka pembangunan sektor pertanian hanya merupakan sebagian dari
“kue” nasional yang dibagi-bagikan dalam proses pembangunan keseluruhan, apakah
dapat menjadi alat untuk tujuan penyerapan lapangan kerja ataupun untuk
penurunan ketimpangan distribusi pendapatan. Telaah kinerja pembangunan
pertanian tersebut dapat dijadikan umpan balik bagi pemerintah untuk menyusun
perencanaan selanjutnya atau merumuskan kembali kebijaksanaan yang lebih
efektif dan efisien. Pengelompokan indikator dapat dilakukan menurut
kedekatannya dalam rangka mewujudkan kebijakan yang tidak saling melemahkan.
Dampak dari
adanya kombinasi indikator-indikator utama tersebut akan memberi gambaran
kinerja pembangunan pertanian sesuai dengan ketersediaan data sekunder.
REFERENSI
Alfian Lains., 1990. Fungsi Produksi Cobb-Douglas Pada Industri
Semen di Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Vol. XXXVII. No.3., :
243-280.
Farida Ai Siti. 2010. Sistem Ekonomi Indonesia. Bandung: CV.
PUSTAKA SETIA
Haidy, N. Pasay., Gatot Arya Putra, Suahasil Nazara. 1995. “Produktivitas
Sumber Daya dan Teknologi” dalam Arsyad (Editor) Prospek Ekonomi Indonesia
Jangka Pendek Sumber Daya, Teknologi dan Pembangunan. Gramedia.
Jhingan M.L. 1990. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan.
Terjemahan D. Guritno, SH. Rajawali Pers. Jakarta
Semoga Bermanfaat :-)
BalasHapus