Rabu, 01 Januari 2014

Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan Daerah

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMERINTAHAN DAERAH
By: Dr. S. Agus Santoso, M.AP 
Makna Masyarakat
Korten (1986) bahwa istilah masyarakat yang secara populer merujuk pada sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama. Menurut Leach&Percy-Smith (2001) ada dua pendekatan untuk mendefinisikan masyarakat. Pertama, merumuskan masyarakat dari pola kehidupan dan pekerjaan orang-orang. Pendekatan ini menyiratkan adanya pembedaan antara masyarakat perkotaan atau pedesaan atau saling ketergantungan ekonomis antara kota dan desa. Pendekatan kedua, memusatkan perhatian pada cara orang mengidentifikasi dirinya dan cara mereka merasakan loyalitas.
        Masyarakat dalam pemerintahan daerah lebih diarahkan pada bagaimana orang-orang menyebut dirinya masyarakat, apakah sebagai warga, konsumen, dan pengguna layanan.



Makna Partsipasi
        Rahnema (1992) bahwa partisipasi sebagai ”the action or fact of partaking, having or forming a part of”. Dalam hal ini, partisipasi bersifat transitif atau intransitif, bermoral atau tak bermoral, bersifat dipaksa atau bebas, bersifat manipulatif atau spontan.
        Partsipasi transitif apabila berorientasi pada tujuan, partisipasi intransitif apabila berperan serta dengan tanpa tujuan yang jelas. Partisipasi memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan etika, partisipasi tak bermoral jika tujuan tidak sesuai dengan etika. Partisipasi sebagai tindakan bebas oleh subjek, bukannya terpaksa dilakukan atas nama partisipasi. Partisipasi manipulatif bahwa partisipan tidak merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu namun sesungguhnya diarahkan untuk berperan serta oleh di luar kendalinya.
Masyarakat Sebagai Pilar Utama dalam Pemerintahan Daerah
UU. 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU. 32 Tahun 2004, dari kedua UU tersebut pada prinsipnya mengedepankan masyarakat sebagai pihak utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap dipertahankan.
Penjelasan umum dalam UU. No. 22 Tahun 1999, ada empat tujuan yang hendak dicapai, yakni: memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas masyarakat, menumbuhkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Kemudian UU. No. 22 Tahun 1999 disempurnakan dengan UU. No. 32 Tahun 2004. Dalam UU ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Isi dua kebijakan tentang pemerintahan daerah tersebut jelas menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat. Hal ini dinyatakan secara tersirat dalam pengertian desentralisasi pada kedua undang-undang tersebut, intinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada masyarakat bukan pemerintah daerah.



Secara umum tujuan dalam UU. No. 22 Tahun 1999 dan
 UU. 32 Tahun 2004
UU. No. 22 Tahun 1999
UU. 32 Tahun 2004
·  Memberdayakan masyarakat
·  Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas masyarakat
·  Menumbuhkan peran serta masyarakat
·  Mengembangkan peran dan fungsi DPRD
·    Peningkatan pelayanan
·    Pemberdayaan
·    Peran serta Masyarakat

Box (1998) mengungkapkan bahwa terdapat empat prinsip yang dipergunakan untuk menjelaskan mengapa demokratisasi administrasi publik perlu dilakukan pada tingkatan pemerintahan daerah.
        Pertama adalah the scale principle, yang menjelaskan jika penyelenggaraan suatu fungsi ingin melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih besar maka sebaiknya diberikan pada tingkatan pemerintahan daerah karena lebih memungkinkan masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan efektif.
        Kedua adalah the democracy principle, yang menjelaskan bahwa pada dasarnya proses pemerintahan seharusnya melibatkan masyarakat. Prinsip menekankan perlunya pembahasan kebijakan dan pengambilan keputusan secara terbuka dan bebas. Partisipasi masyarakat merupakan kunci penyelenggaraan prinsip ini.
Ketiga adalah the accountability principle, yang menjelaskan bahwa pemerintahan pada dasarnya adalah milik masyarakat. Oleh karena itu, akuntabilitas publik berarti pertanggung jawaban kepada masyarakat sebagai pemilik pemerintahan. Untuk mencapai akuntabilitas publik dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan bersama dengan para wakilnya dan administrator publik. Akuntabilitas public menuntut adanya keterkaitan langsung warga masyarakat dengan penyusunan dan pelaksanaan program-program.
Keempat adalah the rationality principle, yang menjelaskan bahwa proses partisipasi publik dalam pemerintahan daerah haruslah ditanggapi secara rasional. Pengertian rasional dalam hal ini lebih mengacu pada kesadaran dan pengakuan bahwa proses partisipasi membutuhkan waktu yang memadai, pemikiran yang cermat, kesempatan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapatnya, perlunya mendengar beragam pendapat yang muncul serta penghargaan atas perbedaan pendapat.
Partisipasi Masyarakat dalam Praktek Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan daerah secara partisipatoris pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Norton (1994) menjelaskan bahwa ada empat bentuk partisipasi masyarakat dalam praktek pemerintahan daerah :
1.  adalah referenda yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap isu-isu vital di daerah tersebut.
2.  adalah konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai kebutuhan dan tuntutan lokal.
3.  adalah penempatan pejabat lokal yang diisi berdasarkan prosedur pemilihan (elected member) sebagai bentuk pemerintahan perwakilan sehingga para pejabat memiliki akuntabilitas yang lebih besar kepada masyarakat.
4.  adalah melakukan desentralisasi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil dalam lingkup daerah itu sendiri. Bentuk yang keempat ini seringkali disebut dengan decentralization within cities. Dalam hal ini secara luas sehingga meliputi desentralisasi secara politis, administratif, fungsional, maupun ekonomis. Desentralisasi secara ekonomis berarti terjadi pembentukan badan usaha milik daerah atau penyerahan sebagaian fungsi pemerintah daerah kepada usaha swasta. Desentralisasi secara fungsional berarti pembentukan lembaga fungsional untuk menjalan urusan tertentu dari pemerintah daerah. Dalam kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, decentralization within cities diterjemahkan secara langsung dalam dua pengertian yakni desentralisasi secara administratif dan politik.
Desentralisasi secara administrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah diwujudkan dalam bentuk pemerintahan kelurahan. Pemerintahan kelurahan pada dasarnya dipilih dan dibentuk untuk memberikan layanan kepada masyarakat yang memiliki corak perkotaan. Nilai dasar yang hendak dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintah kelurahan adalah efisiensi struktural sehingga kebutuhan masyarakat perkotaan yang lebih bersifat majemuk, dinamis, individualistis lebih terpenuhi.
Desentralisasi secara politis dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menyerahkan sebahagian urusan dan dana yang ada kepada pemerintah desa. Pemerintahan desa dipilih dan dibentuk dengan dasar melestarikan nilai-nilai tradisional yang sudah berkembang dalam corak masyarakat pedesaan. Nilai dasar yang hendak dikembangkan dalam pemerintahan desa adalah partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.




Konsep Akuntabilitas

Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas dapat dipahami banyak istilah tergantung pada pendekatan keilmuan yang digunakan. Menurut Chandler and Plano (1992) mengartikan akuntabilitas (accountability) sebagai “refers to the institution of checks and balances in an administratitive system”. Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “checks and balance” dalam system administrasi. Akuntabilitas berarti menyelenggarakan penghitungan (accout) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Sedangkan Ghartey dalam Sedarmayanti (2009) mengatakan akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Akuntabilitas juga merupakan instrument untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pelayanan public. Menurut Carino dalam Sedarmayanti (2009) bahwa akuntabilitas merupakan evolusi kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik masih berada pada jalur otoritasnya atau sudah berada jauh di luar tanggung jawab dan kewenangannya.
Akuntabilitas publik merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan.  Jadi akuntabilitas publik yang merupakan faktor utama untuk mewujudkan good governance memerlukan adanya transparansi. Berdasarkan pendapat Jabra&Dwivedi (1989) memetakan  akuntabilitas ke dalam lima macam yaitu: Pertama, administrative/organization accountability yaitu diperlukan adanya hubungan hirarkis yang tegas di antara pusat-pusat pertanggung jawaban dengan unit-unit di bawahnya. Hubungan-hubungan hirarkis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam bentuk aturan-aturan organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk jaringan hubungan informal. Prioritas yang ditetapkan pada level atas diikuti, dan control pengawasan dilaksanakan secara intensif dengan pemahaman tentang keharusan mematuhi perintah. Pengabaian perintah akan mendatangkan sanksi dari peringatan informal sampai pemecatan. Kedua, legal accountability yaitu bentuk pertanggung jawaban setiap tindakan administrative dari aparat pemerintah di badan legislatif dan atau di depan mahkamah. Pelanggaran kewajiban-kewajiban hukum ataupun ketidak mampuannya memenuhi keinginan badan legislatif, maka pertanggung jawaban aparat atas tindakan-tindakan dapat dilakukan di depan pengadilan ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan undang-undang (juducal review).
Ketiga, political accountability yaitu legitmasi program publik dan daya tahan organisasi yang bertanggungjawab atasnya, menjadi urusan akuntabilitas politik. Pada sistem pemerintahan demokrasi, administrasi berkewajiban mengakui kekuasaan otoritas politik untuk mengatur, menetapkan prioritas, medistribusikan kembali sumber daya, dan menjamin kepatuhan atas perintah. Dalam banyak hal, akuntabilitas politik mengalahkan akuntabilitas administrasi atau organisasi, karena politikus yang terpilih  memiliki tanggung jawab untuk menjalankan pekerjaan. Keempat, professional accountability yaitu sehubungan dengan semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat professional (seperti dokter, insinyur, pengacara, ekonom, akuntan, pekerja sosial dsb) mengharap dapat memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik. Dan jika tidak dapat menjalankan tugasnya mereka mengharapkan memperoleh masukan untuk perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik profesinya dengan kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan keduanya maka mereka harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepeda kepentingan publik. Kelima, moral accountability yaitu bahwa pemerintah memang selayaknya bertanggung jawab secara moral atas tindakan-tindakannya. Landasan bagi setiap tindakan pegawai pemerintah seharusnya diletakkan pada prinsip-prinsip moral dan etika sebagaimana diakui oleh konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh public sebagai norma dan perilaku sosial yang telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja kalau public menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral.
Sedangkan merujuk pada pendapat Paul (1991) mengelompokkan jenis akuntabilitas kedalam tiga jenis. Pertama, democratic accoutability yaitu  merupakan perpaduan antara akuntabilitas administrative dan politik, dimana para penyelenggara layanan publik bertanggung jawab kepada menteri-menteri dan kepala pemerintahan kemudian secara berjenjang mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya pada pemimpin-pemimpin politik misal dilembaga-lembaga legislatif. Kedua, professional accountability yaitu dalam akuntabilitas professional para pakar, professional dan tenokrat melaksanakan tugas-tugasnya dengan dilandasi oleh norma-norma dan standard profesinya. Mereka diperkenankan untuk menentukan public intrest sesuai dengan norma-norma dan standar yang dikaitkan dengan kepentingan masyarakat. Ketiga, legal accountability yaitu kategori akuntabilitas ini, pelaksanaan ketentuan hukum disesuaikan untuk kepentingan public goods dan public service yang memang dituntut oleh seluruh masyarakat. Dengan akuntabilitas ini maka petugas pelayanan publik akan dapat dituntut pengadilan apabila mereka gagal melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Malpraktek dan pelayanan seadanya kepada masyarakat akan ditunjukkan pada laporan akuntabilitas legal.
Merujuk pada pendapat Carino (1991), Salleh dan Iqbal mengemukakan bahwa akuntabilitas dibagi menjadi dua. Pertama, akuntabilitas internal yaitu merupakan pertanggungjawaban perbuatan individu kepada Tuhan dan disebut juga spiritual accountability. Kedua, akuntabilitas eksternal yaitu merupakan pertanggungjawaban individu atau organisasi kepada lingkungan dan masyarakat sekitar sebagai dampak langsung maupun tidak langsung.


Good Governance

GOOD GOVERNANCE

A.  Paradigma Governance
Istilah governance dapat dipahami dengan menelusuri asal katanya, menurut asal kata governance berasal dari bahasa latin yang merupakan bahasa induk Eropa, akar katanya adalah gubernare yang kemudian diadopsi kedalam bahasa inggris menjadi govern dengan makna steer, direct dan rule (Nugroho, 2003).

Istilah governance secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya adalah guiding. Governance adalah suatu proses dimana suatu sistem sosial ekonomi atau sistem organisasi kompleks lainnya dikendalikan dan diatur.

Pinto (1994) mendefinisikan governance sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi  pada khususnya.

Kajian tentang paradigma governance dalam hubungan ini akan berarti suatu kegiatan untuk melihat perkembangan dan perubahan pola-pola pikir dan cara pandang, serta pemahaman kita tentang permasalahan yang dihadapi dan proses peraturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. (Soeprapto, 2005).

B.  Konsep Governance
Secara umum governance mengandung unsur utama yang terdiri dari akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), keterbukaan (openenes), dan aturan hukum (rule of law).

Akuntabilitas
Adaah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggungjawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.

Transparansi
Pemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik ditingkat pusat maupun di daerah. Rakyat dapat mengetahui secara jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi proses perumusan kebijakan publik dan tindakan pelaksanaannya (implementasinya).

Keterbukaan
Keterbukaan disini mengacu kepada terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan. Pemerintah yang baik, yang bersifat transparan dan terbuka akan memberikan informasi data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atau jalannya pemerintahan.

Aturan Hukum
Prinsip aturan hukum bahwa good governance mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.
Untuk menyempurnakan mutu kepemerintahan di Indonesia perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
1.   Memanfaatkan seperangkat institusi dan aktor baik dalam maupun dari luar birokrasi pemerintahan. Pemerintahan tidak perlu alergi atau curiga terhadap eksistensi berbagai macam institusi dan aktor di luar institusi pemerintah, bahkan sebaliknya hal itu bisa dimanfaatkan sebagai komponen penguat dalam mencapai tujuan bersama.
2.   Trikotomi peran sektor pertama (pemerintah ”plus” legislatif), sektor kedua (swasta) dan sektor ketiga (masyarakat) untuk menangani masalah-masalah sosial ekonomi tidak perlu terjadi, karena peran mereka itu sekarang telah demikian membaur/kabur. Ketiga kekuatan tersebut seyogyanya menyatu dan padu, mempunyai kepentingan dan komitmen yang sama tingginya atau mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi tersebut.
3.   Adanya saling ketergantungan diantara ketiga kekuatan tersebut dan peran bersama (collective action). Tujuan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, tidak perlu ada satu kekuatan manapun yang dominant melebihi yang lain, semuanya berinteraksi dan berinterelasi serta punya akses yang sama dalam berpartisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
4.   Walaupun masing-masing kekuatan tersebut diatas (pemerintah dan legislative, swasta, dan masyarakat) telah memiliki jaringan kerja, tetapi begitu menyatu dalam suatu ikatan kepentingan bersama (partnership) maka mereka akan membentuk jaringan kerja sendiri yang otonom dan kuat dalam mempengaruhi dan menjalankan urusan pemerintahan. Institusi-institusi dan aktor-aktor dari ketiga kekuatan tersebut akan menjadi kekuatan yang dahsyat dan solid bila mereka bersedia memberikan dan memanfaatkan kontribusi baik sumber-sumber, keahlian, dan tujuan-tujuan mereka menuju kepemerintahan yang baik (good governance).
5.   Kapasitas untuk mencapai tujuan (misalnya, membangun masyarakat sejahtera) tidak mungkin hanya menggantungkan diri dari pada komando dan penggunaan otoritas pemerintah, tetapi juga kemampuan untuk memanfaatkan sarana dan teknik kepemerintahan yang baru yaitu kemampuan membuat kebijakan dasar yang baik dan benar. Pemerintah tidak perlu memonopoli pembuatan kebijakan dasar tersebut, ia perlu mengajak dan memberikan kesempatan aktor-aktor lain untuk ikut berperan serta dalam proses kebijakan tersebut. Peran pemerintah cukup sebagai : catalytic agent, anabler, dan commissioner yang memberikan arahan (more steering) dan tidak perlu menjalankannya sendiri (less rowing) proses kebijakan tersebut. (dalam Soeprapto 2005)

C.  Aktor Good Governance
Selanjutnya menurut UNDP dalam LAN (2000) institusi dari governance memiliki tiga  domain, yaitu: “the state, the private sector, civil society”  yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Ketiga komponen  kepemerintahan tersebut harus berhubungan secara harmonis untuk mencapai adanya sinergi. Hubungan yang harmonis dan sinergi antar ketiga komponen kepemerintahan ini akan tercapai apabila ketiganya memiliki kesamaan derajat dan peran serta mampu melakukan saling kontrol yang efektif satu sama lain. Hubungan yang harmonis (sinergis) antar ketiga komponen governance tersebut dapat diiliustrasikan pada bagan seperti berikut.
Keseimbangan Hubungan Tiga Komponen Governance
 







Sumber : dalam AKIP LAN&BPKP (2000)
Governance dalam praktek terbaiknya disebut dengan istilah good governance, istilah ini kemudian menjadi populer dalam lembaga pemerintahan di Indonesia. Ketiga domain tersebut berada dalam kehidupan masyarakat yang berbangsa dan bernegara dan ketiga domain tersebut tidak sekedar berjalan tetapi harus baik (good), maka lahirlah istilah good governance yang sering diartikan kepemerintahan tata pemerintahan yang baik. Arti good dalam good governance sendiri mengandung dua pengertian: pertama nilai yang menjungjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian. Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut (LAN&BPKP, 2000).
     Selanjutnya, UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan, sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan pemerintahan. Secara tegas, UNDP sendiri memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara state, sektor swasta private dan society. Dalam perkembangan berikutnya, UNDP dalam LAN&BPKP (2000) mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut:
1.   Participation: setiap warganegara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2.   Rule of Law: kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama untuk hukum hak azasi manusia.
3.   Transparency: transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4.   Reponsiveness: lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap steolders.
5.   Consensus Orientation: good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal-hal kebijakan-kebijakan maupunprosedur-prosedur.
6.   Equity: semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7.   Effectiveness and Efficiency: proses-prose dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia yang sebaik mungkin.
8.   Accountability: para pembuat keputusan dan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9.   Strategic Vision: para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan kebutuhan pembangunan

Kesembilan karakteristik tersebut di atas saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara (state), sektor swasta (private) dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi publik, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi publik yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Di Indonesia good governance mulai di kenal secara lebih dalam ± tahun 1990 sebagai wacana penting yang muncul dalam berbagai pembahasan, diskusi, penelitian, dan seminar, baik lingkungan pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat termasuk di lingkungan para akademisi. Sejak terjadinya krisis moneter dan krisis kepercayaan yang mengakibatkan perubahan dramatis pada tahun 1998, Indonesia telah mulai berbagai inisiatif yang dirancang untuk mempromosikan good governance, akuntabilitas dan partisipasi yang lebih luas. Ini sebagai awal yang penting dalam menyebarluaskan gagasan yang mengarah pada perbaikan governance dan demokrasi partisipasi di Indonesia. good governance di pandang sebagai paradigma baru dan menjadi ciri yang perlu ada dalam sistem administrasi publik (Sedarmayanti, 2009).




Administrasi Kepegawaian

A.      ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN
Ø  Pengertian Administrasi Kepegawaian
Administrasi kepegawaian berkaitan dengan penggunaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kegiatan belajar ini telah dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian, ruang lingkup, dan fungsi/aktivitas kepegawaian.
Ø  Sistem Administrasi Kepegawaian
Sistem administrasi kepegawaian adalah bagian dari administrasi negara yang kebijaksanaannya ditentukan dari tujuan yang ingin dicapai. Pola kebijaksanaannya tergantung pada bentuk negara yang dianut suatu negara, apakah federal ataukah kesatuan.
Kebijaksanaan dasar sistem administrasi kepegawaian di negara kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ø  Fungsi Teknis Administrasi Kepegawaian
Administrasi kepegawaian pada hakikatnya melakukan dua fungsi yaitu fungsi manajerial, dan fungsi operatif (teknis). Fungsi manajerial berkaitan dengan pekerjaan pikiran atau menggunakan pikiran (mental) meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian pegawai. Sedangkan fungsi operatif (teknis), berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan fisik, meliputi pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan, dan pemensiunan pegawai.

B.     FUNGSI UMUM ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN
Ø  Perencanaan Pegawai
Perencanaan pegawai dapat didefinisikan sebagai proses penentuan kebutuhan pegawai pada masa yang akan datang berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi dan persediaan tenaga kerja yang ada. Perencanaan pegawai merupakan bagian penting dari dan sebagai kontributor pada proses perencanaan strategis karena membantu organisasi dalam menentukan sumber-sumber yang diperlukan dan membantu menentukan apa yang benar-benar dapat dicapai dengan sumber-sumber yang tersedia.
Perencanaan pegawai yang baik akan memperbaiki pemanfaatan pegawai, menyesuaikan aktivitas pegawai dan kebutuhan di masa depan secara efisien, meningkatkan efisiensi dalam merekrut pegawai baru serta melengkapi informasi tentang kepegawaian yang dapat membantu kegiatan kepegawaian dan unit organisasi lainnya. Melalui perencanaan dapat diketahui kekurangan dibanding kebutuhan sehingga dapat dilakukan perekrutan pegawai baru, promosi, dan transfer secara proaktif sehingga tidak mengganggu kegiatan organisasi.
Dalam membuat perencanaan pegawai perlu diperhatikan faktor internal dan eksternal organisasi. Di samping itu, perlu pula diperhatikan langkah-langkah yang harus ditempuh sebagaimana dikemukakan Miller Burack dan Maryann.
Ø  Pengorganisasian Kepegawaian
Pengorganisasian adalah suatu langkah untuk menetapkan, menggolong-golongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan yang dipandang perlu, penetapan tugas dan wewenang seseorang, pendelegasian wewenang dalam rangka untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian mengantarkan semua sumber dasar (manusia dan nonmanusia) ke dalam suatu pola tertentu sedemikian rupa sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat bekerja sama secara berdaya guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu akibat dari pengorganisasian adalah terbentuknya struktur organisasi dan dalam struktur organisasi akan nampak bagaimana hubungan antara satu unit dengan unit lain. Dengan kata lain, struktur organisasi akan mempengaruhi aliran kerja, delegasi wewenang dan tanggung jawab, sistem kontrol dan pengendalian, serta arus perintah dan pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam mendesain struktur organisasi bagian kepegawaian perlu dipertimbangkan berbagai faktor sebagaimana telah diuraikan dalam kegiatan belajar ini.
Ø  Pengarahan Pegawai
Ada banyak teori dan keyakinan tentang apa yang memotivasi pegawai. Secara keseluruhan tidak ada kesepakatan tentang motivasi. Oleh karena itu, sangat sulit bagi organisasi untuk sampai pada kebijakan dan pendekatan yang akan memuaskan semua pegawai. Selain itu, bagi organisasi dengan skala apa pun, membuat analisis mendalam tentang apa yang memotivasi setiap pegawai adalah tidak praktis. Namun, ada aturan-aturan praktis yang dapat diikuti setidak-tidaknya untuk membantu memotivasi pegawai dan meningkatkan kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut.
1.      Jelaskan kepada para pegawai apa yang dimaksud dengan kinerja efektif dan pastikan bahwa mereka mengetahui apa yang diharapkan dari mereka;
2.      Pastikan bahwa ada hubungan jelas antara kinerja dan penghargaan (imbalan) dan bahwa setiap hubungan semacam itu dikomunikasikan kepada para pegawai;
3.      Pastikan bahwa semua pegawai diperlakukan secara adil dan penilaian tentang kinerja adalah objektif;
4.      Bilamana mungkin, kembangkan jenis-jenis penghargaan yang berbeda, tidak semua orang dapat dinaikkan pangkatnya (dipromosikan) atau perlu dinaikkan pangkatnya;
5.      Doronglah semangat seluwes mungkin di dalam lingkungan kerja dan kembangkan gaya manajemen yang mudah diserap dan mampu diubah-ubah untuk menyesuaikan orang dan lingkungan
6.      Kembangkan sebuah sistem manajemen kinerja atau setidaknya tetapkan sasaran yang dapat dicapai tetapi dapat terus berkembang;
7.      Perhitungkan semua faktor lingkungan dan sosial, seperti kenyamanan dan sarana lingkungan kerja, interaksi sosial diantara pegawai, pokoknya semua faktor yang dapat menjadi sumber ketidakpuasan.

Sumber : buku Administrasi Kepegawaian Karya Enceng dkk

Minggu, 29 September 2013

Macam-macam Penelitian



I           1. Penelitian Diagnostik
2. Penelitian Deskriptif
a. Pengertian Penelitian Deskripsi
Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72). Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnyakondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.
Furchan (2004:447) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan, dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis sebagaimana yang terdapat pada penelitian eksperiman.
b.      Karakteristik Penelitian Deskriptif
Penelitian deskriptif mempunyai karakteristik-karakteristik seperti yang dikemukakan Furchan (2004) bahwa :
1. penelitian deskriptif cendrung menggambarkan suatu fenomena apa adanya dengan  menelaah secara teratur-ketat, mengutamakan obyektivitas, dan dilakukan secara cermat.
2. tidak adanya perlakuan yang diberikan atau dikendalikan, dan (3) tidak adanya uji hipotesis.

c.  Jenis-jenis Penelitian Deskriptif
Furchan (2004:448-465) menjelaskan, beberapa jenis penelitian deskriptif, yaitu; (1) Studi kasus, yaitu, suatu penyelidikan intensif tentang individu, dan atau unit sosial yang dilakukan secara mendalam dengan menemukan semua variabel penting tentang perkembangan individu atau unit sosial yang diteliti. Dalam penelitian ini dimungkinkan ditemukannya hal-hal tak terduga kemudian dapat digunakan untuk membuat hipotesis. (2) Survei. Studi jenis ini merupakan studi pengumpulan data yang relatif terbatas dari kasus-kasus yang relatif besar jumlahnya. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi tentang variabel dan bukan tentang individu. Berdasarkan ruang lingkupnya (sensus atau survai sampel) dan subyeknya (hal nyata atau tidak nyata), sensus dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: sensus tentang hal-hal yang nyata, sensus tentang hal-hal yang tidak nyata, survei sampel tentang hal-hal yang nyata, dan survei sampel tentang hal-hal yang tidak nyata.
(3) Studi perkembangan. Studi ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya bagaimana sifat-sifat anak pada berbagai usia, bagaimana perbedaan mereka dalam tingkatan-tingkatan usia itu, serta bagaimana mereka tumbuh dan berkembang. Hal ini biasanya dilakukan dengan metode longitudinal dan metode cross-sectional.
(4) Studi tindak lanjut, yakni, studi yang menyelidiki perkembangan subyek setelah diberi perlakukan atau kondisi tertentu atau mengalami kondisi tertentu.
(5) Analisis dokumenter. Studi ini sering juga disebut analisi isi yang juga dapat digunakan untuk menyelidiki variabel sosiologis dan psikologis.
 (6) Analisis kecenderungan. Yakni, analisis yang dugunakan untuk meramalkan keadaan di masa yang akan datang dengan memperhatikan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi.
(7) Studi korelasi. Yaitu, jenis penelitian deskriptif yang bertujuan menetapkan besarnya hubungan antar variabel yang diteliti.

3. Penelitian Evaluatif
 a. Pengertian Penelitian Evaluatif
Penelitian evaluatif (Evaluation research) difokuskan pada suatu kegiatan dalam suatu unit tertentu. Kegiatan tersebut dapat berbentuk program, proses ataupun hasil kerja, sedangkan unit dapat berupa tempat, organisasi, atau lembaga.
















II         Perbedaan penelitian Kualitatif dengan penelitian Kuantitatif
Tabel Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
Penelitian Kualitatif
Penelitian Kuantitatif
Desain tidak terinci, fleksibel, timbul "emergent" serta
berkembang sambil jalan antara lain mengenai tujuan, subjek,
sampel, dan sumber data.
Desain terinci dan mantap.
Desain sebenarnya baru diketahui dengan jelas setelah penelitian

selesai (retrospektif).
Desain direncanakan sebelumnya pada tahapan persiapan

(projektif)
Tidak mengemukakan hipotesis sebelumnya, hipotesis lahir

sewaktu penelitian dilakukan; hipotesis berupa "hunches", petunjuk

yang bersifat sementara dan dapat berubah; hipotesis berupa

pertanyaan yang mengarahkan pengumpulan data.
Mengemukakan hipotesis sebelumnya, yang akan diuji

kebenarannya.
Hasil penelitian terbuka, tidak diketahui sebelumnya karena

jumlah variabel penelitian tidak terbatas
Hipotesis menentukan hasil yang diharapkan; hasil telah

diramalkan (apriori); hasil penelitian telah terkandung di dalam

hipotesis, jumlah variabel terbatas
Desain fleksibel, langkah-langkah tidak dapat dipastikan

sebelumnya dan hasil penelitian tidak dapat diketahui atau diramalkan

sebelumnya
Dalam desain jelas langkah-langkah penelitian serta hasil yang

diharapkan
Analisis data dilakukan sejak mula penelitian dan dilakukan

bersamaan dengan pengumpulan data, walaupun analisis akan lebih

banyak pada tahap-tahap selanjutnya.
Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul pada tahap

akhir.