Sabtu, 15 Februari 2014

Etika Birokrasi

A.Pengertian Etika
·         Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
·         Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
·         Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
a.      Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
b.       Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
c.       Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
1)      Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
2)      Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
·         Menurut Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
·         Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
·         Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
·         Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
·         Etika terbagi atas dua :
a.      Etika umum ialah etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia itu bertindak secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.
b.      Etika khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi (wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).
B.Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor;  dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai : 1.Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
2.Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:
1) Farel Heady (1989)
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan. Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang birokrat bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan wewenangnya, melainkan orang yang sangat profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.
2)Hegel
            Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat. Hegel melihat, bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.
3) Karl Marx
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Dalam pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat saja.
4)  Yahya Muhaimin
Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
5)  Almond and Powell (1966)
The Governmental Bureaucracy is a group of formally organized offices and duties, lnked in a complex grading subordinates to the formal roler maker (Birokrasi Pemerintahan adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal)
Dari berbagai pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa Birokrasi sesungguhnya dapat dipahami dan diberi pengertian sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam organisasi yang mengatur interaksi sosial baik ke dalam maupun keluar. Secara spesifik birokrasi publik (pemerintahan) dapat dimaknai sebagai institusi atau agen pemerintahan yang dilengkapi dengan otoritas sistematik dan rasional dengan aturan-aturan yang lugas (a system of authority relations defined by rationally developed rule) (Chandler and Plano, 1982 dalam Hariyoso, 2002).
C.Etika Birokrasi dalam Pemerintahan
Etika merupakan kesediaan jiwa akan kesusilaan atau kumpulan dari peraturan kesusilaan. Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakan bermoral. Sesuai dengan moralitas dan perilaku masyarakat setempat. Etika sendiri dibagi lagi ke dalam etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri dan, melalui suara hati, terhadap Illahi, dan etika sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Di sini termasuk misalnya kewajiban-kewajiban di sekitar permulaan kehidupan, masalah pengguguran isi kandungan dan etika seksual, tetapi juga norma-norma moral yang berlaku dalam hubungan dengan satuan-satuan kemasyarakatan yang berlembaga seperti etika keluarga, etika pelbagai profesi, dan etika pendidikan. Dan di sini termasuk juga etika politik atau filsafat moral mengenai dimensi politis kehidupan manusia.
Dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Ciri khasnya adalah bahwa pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Dimensi di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak-tanduknya.
Ada dua cara untuk menata masyarakat yaitu penataan masyarakat yang normatif dan yang efektif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka bertindak. Hukum terdiri dari norma-norma bagi kelakuan yang betul dan salah dalam masyarakat. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak efektif. Artinya, hukum sendiri tidak dapat menjamin agar orang memang taat kepada normanya. Yang dapat secara efektif menentukan kelakuan masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya. Lembaga itu adalah negara. Penataan efektif masayarakat adalah penataan yang de facto, dalam kenyataan, menentukan kelakuan masyarakat.
Dengan demikian hukum dan kekuasaan adalah bahasan dari etika politik.  Dalam hal ini lebih difokuskan pada etika birokrasi sebagai bagian dari etika politik. Etika birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam fungsi pokok pemerintahan: fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Etika penting dalam birokrasi. Pertama, masalah yang ada dalam birokrasi semakin lama semakin komplek. Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Birokrasi melakukan adjusment (penyesuaian) yang menuntut discretionary power (kekuatan pertimbangan/kebijaksanaan) yang besar.
 Pemerintah memiliki pola prilaku yang wajib dijadikan sebagai pedoman atau kode etik berlaku bagi setiap aparaturnya. Etika dalam birokrasi harus ditimbulkan dengan berlandaskan pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam masyarakat harus dipedomani serta diwujudkan oleh setiap aparat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika yang perlu dijadikan pedoman dan perlu dipraktekkan secara operasional antara lain:
1. Aparat wajib mengabdi kepada kepentingan umum
2. Aparat adalah motor penggerak “head“ dan “heart“  bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
3. Aparat harus berdiri di tengah-tengah, bersikap terbuka dan tidak memihak (mediator)
4. Aparat harus jujur, bersih dan berwibawa
5. Aparat harus bersifat diskresif, bisa membedakan mana yang rahasia dan tidak rahasia, mana yang penting dan tidak penting
6. Aparat harus selalu bijaksana dan sebagai pengayom.
Berbagai sifat psikis, kepribadian (jatidiri), harga dirii, kejujuran yang diisyaratkan oleh teori sifat pada hakikatnya merupakan kode etik bagi siapapun yang akan bertugas sebagai aparat. Aparat seyogyianya tidak bekerja terkotak-kotak, menganggap dialah yang penting atau menentukan, seharusnya aparatur bekerja secara menyeluruh. Oleh sebab itu tidak hanya mementingkan bidangnya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu dipandang penting pula koordinasi, sinkronisasi, integrasi. Sehingga dapat berbuat dan bertindak sesuai dengan tingkah laku dan perilaku aparatur yang terpuji.
 Etika terbentuk dari aturan pertimbangan yang tinggi. Yaitu benar vs tidak benar dan pantas vs tidak pantas. Prilaku dan tindakan aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang etika biasanya tidak tertulis dan sanksinya berupa sanksi sosial yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut. Maka dituntut adanya payung hukum.
Peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan etika birokrasi. Peraturan ini tertuang dalam Kode Etik Pegawai Negeri. Akan tetapi kode etik ini belum kentara hasil dan fungsinya. Namun, dengan kode etik ini mengupayakan aparat birokrasi yang lebih jujur, bertanggung jawab, disiplin, rajin, memiliki moral yang baik, tidak melakukan perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, perlu usaha dan latihan serta penegakan sanksi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode etik atau aturan yang ditetapkan.

Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh birokrasi, antara lain :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan.
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melakukan transaksi untuk kepentingan dinas.
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocorkan informasi komersial/ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung izin pemerintah.
Selain itu, ada beberapa upaya untuk membenahi praktek-praktek birokrasi yang kurang menyenangkan, antara lain:
1. Pembenahan suatu institusi yang telah berpraktek dalam jangka waktu lama tidaklah gampang. Waktu yang cukup lama mutlak diperlukan. Yang cukup penting dimiliki adalah perilaku adaptif dari birokrasi terhadap perkembangan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga mampu membaca tuntutan dan harapan yang dibebankan ke pundaknya. Suatu komuniti yang semakin kompleks dan rumit memerlukan bentuk-bentuk praktek birokrasi yang luwes dan praktis. Pemotongan jalur-jalur hirarkis, merupakan salah satu keinginan dari konsumen birokrasi.
2. Selaras dengan pemikiran Weber yang menempatkan birokrasi dan birokrasi dapat bergandengan tangan. Menuntut birokrasi sebagai institusi yang terbuka dan mampu untuk dipahami sesuai fungsinya. Kebijaksanaan dan suasana demokratisasi sangat diperlukan, yakni memberi hak yang lebih luas bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan.
3. Selaras dengan akumulasi keinginan pemotongan jalur-jalur hirarkis. Kebijaksanaan-kebijaksanaan menyangkut desentralisasi juga diperlukan.
4. Faktor mental personal dari aparatur birokrasi dan perilaku dari birokrat itu sendiri. Dituntut adanya keberanian moral untuk menyingkirkan pandangan bahwa birokrasi adalah bureaucratic polity, serta menempatkan prinsip-prinsip de-etatisme dan de-kontrolisasi pada proposisinya.
Birokrasi hendaklah merupakan rangkaian kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi didistribusikan melalui cara-cara yang telah ditentukan dan dianggap sebagai tugas resmi. Diorganisasikan dalam suatu kantor yang mengikuti prinsip hirarkis. Pelaksanaan tugasnya diatur oleh suatu sistem peraturan perundang-undangan yang abstrak dan mencakup juga penerapan aturan-aturan di dalam kasus-kasus tertentu. Dilaksanakan oleh pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat formal dan bersifat pribadi, tanpa perasaan dendam atau nafsu. Pekerjaan birokratis didasarkan pada klasifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan sepihak. Berdasarkan pengalaman universal bahwa tipe organisasi administratif yang murni dilihat semata-mata dari sudut teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
 Birokrasi sebagai bagian law enforcement perlu direformasi dengan dimensi keadilan. Hal yang diperlukan adalah: menuntaskan “national building“, memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga, membangun aturan hukum secara komprehensif serta membangun moralitas aparat penegak hukum.
D. Darimana Etika Birokrasi Dibentuk
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri. Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs. Haryanto, MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudah tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,6 tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi
            Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto bahwa Masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah-masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah.
Dalam memecahkan masalah yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan-pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing-masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah-masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.


Tragedi Marsinah 1993

BAB I
LATAR BELAKANG

1.1. Alur Peristiwa
Pada pertengahan april 1993, para buruh PT.CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat bekerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut surat edaran gubernur jawa timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20%dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, pengurus PUK-SPSI PT.CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
Selanjutnya pada tanggal 3 mei 1993 seluruh buruh PT.CPS tidak masuk kerja kecuali staf dan para kepala bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor DEPNAKER Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ngibaskan tongkat pemukul serta merobek poster serta spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI  kepada para pengunjuk rasa.
Aparat dan koramil juga kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, marsinah meminta waktu berunding dengan pengurus PT.CPS.  perundingan berjalan secara hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan Kepmen 50/1992 tentang upah minimum regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat OHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di PHK ditempat yang sama.
Marsinah bahkan sempat mendatangi kodim sidoarjo untuk menanyakan keberadaan teman-temannya yang sebelumnya di panggil pihak kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, marsinah mengancam pihak tentara bahwa ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap buruh tersebut kepada pamannya yang berprofesi sebagai jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang karyawan. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 mei 1993.

1.2. Kematian marsinah
Mayatnya ditemukan digubuk petani dekat hutan wilangan, nganjuk tanggal 9 mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet , mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih berlumuran darah. Mayatnta ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan .

1.3. Kejanggalan Kematian Marsinah
Salah satu kasus pembunuhan paling kontroversial adalah kasus Marsinah aktivis buruh PT. Catur Putra Surya yang terjadi pada September 1993. Seperti dimaklumi, kala itu Marsinah menjadi ikon gerakan buruh yang berpengaruh luas dalam penuntutan peningkatan hak-hak kaum buruh sehingga kematiannya dikaitkan dengan adanya konspirasi untuk membendung arus gerakan ini. Diam-diam, sebagian analisis menduga keras adanya keterlibatan oknum TNI AD yang tak tersentuh hukum. Tentunya analisis ini tak pernah muncul ke permukaan.
Ada beberapa kejanggalan yang terjadi pada kasus kematian Marsinah ini, kejanggalan-kejanggalan tersebut, antara lain Visum et Repentum dan RSUD Nganjuk sangat sederhana karena hanya satu halaman. Meskipun terhadap tubuh Marsinah telah dilakukan pemeriksaan bedah mayat, tetapi tidak dijumpai perihal keadaan kepala, leher, dan dada korban. Tulang panggul bagian depan hancur (tapi dalam VR kedua disebutkan : tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan patah, tulang usus kanan tengah patah sampai terpisah dan kelangkang kanan patah seluruhnya). Labia minora kiri robek dan terdapat serpihan tulang, pendarahan sebanyak 1000 ml dalam rongga perut, memar kandung kencing dan memar pada usus bagian bawah.
Kejanggalan paling mencolok dari Visum et Repentum yang pertama terlihat dalam kesimpulan yang dibuat, yaitu : korban meninggal dunia akibat pendarahan dalam rongga perut. Padahal, kejelasan yang seharusnya diutarakan pembuat VR adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan), bukan mekanisme kematian (perdarahan, mati lemas). Karena mekanisme kematian perdarahan tidak bisa memberi petunjuk perihal alat atau benda yang menyebabkan korban, yaitu Marsinah, tewas.
Dalam persidangan sebelumnya, terbukti bahwa terdapat tiga orang yang menusuk kemaluan korban dalam waktu yang berbeda, tapi dalam Visum et Repentum hanya ditemukan satu luka, yaitu luka pada labia minora.
Hal tersebut hanya mungkin terjadi apabila alat yang dipakai menusuk kemaluan korban tidak dicabut, tapi menempel. Logikanya, kalau ada tiga pelaku penusukan kemaluan korban, luka pada korban harusnya lebih dari satu. Kejanggalan makin jelas ketika barang bukti yang dipakai menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka yang terdapat di tubuh korban.
VR kedua yang dibuat sekitar enam bulan kemudian juga tidak dapat memberikan kesimpulan yang memuaskan. Disebutkan dalam VR kedua itu: ditemukan resapan darah didaerah belakang pelipis kanan sebagai akibat persentuhan dengan benda tumpul dan ditemukan patah tulang kemaluan, tulang usus kanan, dan tulang kelangkang sebagai akibat kekerasan dengan benda tumpul.
Kelaziman dalam pembuatan kesimpulan VR, yang dicantumkan adalah jenis kekerasannya, bukan bendanya. Kapak jelas termasuk benda tajam, tapi jika seseorang dipukul dengan bagian punggung atau belakang kapak, cedera yang ditemukan memberi gambaran akibat kekerasan tumpul, berbeda dengan cedera yang diakibatkan bagian kapak yang tajam, yaitu luka terbuka akibat kekerasan tajam.
Dari kedua VR tersebut, tidak bisa diperoleh penjelasan perihal perlukaan atau kelainan yang menyebabkan Marsinah tewas. Hal ini terjadi, disebabkan oleh pembuatan VR yang diluar kelaziman. Maka, menjadi pertanyaan besar, kekerasan seperti apa yang bisa menimbulkan cedera pada korban, dalam hal ini dimulai dari luka terbuka pada labia minora kiri, tulang kemaluan kiri yang patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan yang patah, tulang usus kanan tengah yang patah dan terpisah, serta tulang kelangkang kanan yang patah, seluruhnya ? jelas kekerasan tersebut dimulai dari sebelah kiri, kemudian setelah membentur tulang usus kanan, lalu memantul ke tulang kelangkang.
“ketika Trimoelja meminta pendapat tentang kekerasan yang bagaimana yang dapat menimbulkan kerusakan sedemikian hebat, padahal pangkal dari kerusakan itu dimulai dari labia minora kiri. dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F sebagai saksi ahli berpendapat: akibat luka tembak.”
Kasus Marsinah menjadi kontroversi dan kesaksian dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F dianggap konyol oleh sebagian teman. Secara tidak langsung, beliau memang seolah mempertaruhkan profesi dan dirinya. Kematian Marsinah seperti selalu ada yang kurang. Walau para pelaku sudah ada dan sudah dijatuhi hukuman penjara, tetapi tetap saja menjadi suatu pertanyaan besar dikepala, ada apa di balik kematian aktivis buruh itu ?














BAB II
TEORI HAM

2.1. Dasar Yuridis
a. Pasal 1 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
b. Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
c. Pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

2.2. Fakta – fakta Kejadian
a. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
b. Berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Kasus Marsinah tersebut oleh Polri termasuk temuan Komnas HAM, didapatkan fakta bahwa kematian Marsinah diduga keras dilatarbelakangi tindakan Marsinah yang sangat vokal saat unjuk rasa di PT CPS dalam rangka menuntut kenaikan gaji buruh dan keberaniannya menentang perlakuan aparat TNI AD di Kodim Sidoarjo yang secara sewenang-wenang dan tanpa hak meminta beberapa buruh PT CPS menandatangani surat PHK yang pada akhirnya menyebabkan Marsinah dibunuh oleh pihak tertentu untuk meredam aksi buruh di beberapa tempat lainnya di Indonesia saat itu.
c. Berdasarkan Laporan Komnas HAM Tahun 2007 (hal. 37) Pembunuhan terhadap pegiat HAM adalah pelanggaran HAM yang tergolong serius, oleh karena itu ketidaktuntasan kasus ini akan menjadi bukti betapa lemahnya pemerintah di kalangan intelejen dan pro status quo untuk mengungkap kasus-kasus pembunuhan para pembela HAM seperti kasus aktivis buruh Marsinah, wartawan Udin, aktivis Aceh Jaffar Siddik, hakim Syaifuddin dan Theys H. Eluay dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.

Berdasarkan uraian tentang definisi HAM pada pasal 1 butir ke-1 jo pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999, dikaitkan dengan dengan adanya fakta kejadian tersebut diatas, serta didukung oleh pernyataan Komnas HAM dalam laporan tahunannya pada tahun 2007, maka pembunuhan terhadap Marsinah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, namun bukan termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat (vide pasal 7 UU No. 26 tahun 2000), sebagaimana halnya dalam kasus pembunuhan aktifis HAM lainnya yaitu antara lain Munir yang dalam nampak dalam proses hukumnya dengan diterapkannya pasal-pasal dalam KUHP tentang pembunuhan, bukan pasal-pasal dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
BAB III
ANALISA

3.1. Analisis Peristiwa
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS (Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi, 57 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

3.2. Temuan Komnas HAM
Tim Komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil dalam kasus
pembunuhan Marsinah. Salah satu anggota Komnas HAM Irjen Pol. (Purn) Koesparmono Irsan mengemukakan, agar kasus itu bisa terungkap harus ada keterbukaan semua pihak dengan berlandaskan hukum, bukan masalah politik. Ia beranggapan, jika masalah itu dibuka secara tuntas maka kredibilitas siapa saja akan terangkat. "Yang jelas Marsinah itu dibunuh bukan mati dhewe, tentu ada pelakunya, mari kita buka dengan legawa. Makin terbuka sebetulnya kredibilitas siapa saja makin terangkat. Tidak ada keinginan menjelekkan yang lain," katanya. Ia mengakui bahwa kasus yang sudah terjadi tujuh tahun lalu itu hampir
mendekati kedaluwarsa untuk diproses secara hukum. Kendala yang dihadapi kepolisian saat ini adalah masalah pengakuan dari semua pihak. "Mau nggak mengakui sesuatu yang memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum, jangan politiknya. Kalau hukum itu 'kan tidak mengenal Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yang ada adalah orang yang melakukan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yang ada solidaritas politik," katanya.
Temuan lain Komnas HAM yaitu dalam proses penangkapan dan penahanan para terdakwa dalam Kasus Marsinah itu melanggar hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran yang disebutnya bertentangan dengan KUHAP itu, antara lain, adanya penganiayaan baik fisik maupun mental. Komnas HAM mengimbau, pelaku penganiayaan itu diperiksa dan ditindak.














BAB IV
PENANGANAN

4.1. Pemerintah Diminta Usut Kasus Marsinah
Radio Komunitas Marsinah FM bersama Perempuan Mahardhika, Forum Buruh Lintas Pabrik, Kasbi, GSPB-PPBI dan Pembebasan pada Senin (7/5), mendesak pemerintah segera menuntaskan kasus Marsinah. “Kami menuntut pemerintah untuk segera menuntaskan kasus Marsinah, tangkap semua yang menghalangi dan menyembunyikan barang bukti pembunuhan Marsinah,” ujar Vivi Widyawati, Humas Perempuan Mahardhika di YLBHI Jakarta, Senin (7/5).
Mereka juga mendesak pemerintah segera mengadili semua penjahat Hak Asasi Manusia dan pelaku kekerasan seksual pada Masa Orde Baru. Selain itu, mereka juga menuntut pemerintah untuk membubarkan Komando Teritorial yang dinilai sebagai lembaga teror bagi masyarakat. “Segala upaya yang dilakukan gagal karena setiap pemerintah dalam era reformasi tidak punya kemauan serius untuk menyelesaikan kasus Marsinah. Marsinah adalah gambaran buruh perempuan yang menjadi korban kolaborasi antara pengusaha dan tentara,” ucap Vivi.
Seperti diketahui, 14 tahun reformasi berjalan, namun 19 tahun kasus Marsinah masih terbengkalai. Tiga kali makam Marsinah dibongkar dan Tim Pencari Fakta dibentuk, namun tak kunjung menemui titik terang. Bahkan, pada 2002 Komnas HAM berupaya membuka kembali kasus Marsinah, namun gagal menguak pembunuh sebenarnya.

4.2. Upaya Tindak Lanjut Penuntasan Kasus Marsinah
Setelah melalui proses kasasi di MA yang menghasilkan keputusan bebas murni terhadap para terdakwa dalam Kasus Marsinah tersebut diatas, tidak serta merta menghentikan tuntutan masyarakat luas bahkan internasional melalui ILO, yang senantiasa menuntut pemerintah RI untuk tetap berupaya mengusut tuntas Kasus Marsinah yang dalam catatan ILO dikenal dengan sebutan kasus 1713.
Komitmen pemerintah RI dalam mengusut tuntas kasus tersebut pada awalnya diperlihatkan pada saat pemerintahan era Presiden Abdurrahman Wahid yang memberikan perintah kepada Kapolri agar melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna mengungkap Kasus Marsinah. Begitu juga pada saat pemerintahan era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga memiliki komitmen yang sama untuk tetap berupaya menuntaskan Kasus Marsinah. Namun, sampai dengan saat ini, Kasus Marsinah belum terungkap.

4.3. Membuka Lembaran Baru Marsinah
Kasus marsinah di usut kembali, menyusul perintah Presiden Gus Dur (Alm) waktu itu.  Terkabar, calon tersangka baru berasal dari tentara dan polisi. Perkara Marsinah adalah sebuah aib dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Vonis bebas murni delapan terdakwa di tingkat kasasi dan seorang terdakwa di tingkat banding menunjukan betapa centang perenang penanganan perkara di tahap sebelumnya.
Tak pelak, kasus itu pun masih terdaftar dalam agenda Organisasi Buruh Internasional (ILO) bernomor 1773. Dan, itu tentu saja menjadi ganjalan pemerintah Indonesia dalam konferensi ILO. Karena itulah Gus Dur memerintahkan Menteri Tenaga Kerja Bomer Pasaribu agar segera menuntaskannya, akhir Januari silam. Gayung bersambut, Kapolri Letjen Rusdihardjo menyatakan kesiapan aparatnya. Cuma, kepolisian meminta agar pihaknya diberi kewenangan untuk memeriksa aparat militer yang diduga terlibat dalam pembunuhan Marsinah. “kami menemui hambatan sehubungan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku,” kata Kadispen Polda Jatim Letkol Sutrisno. Yang jelas, ujar Sutrisno, saat ini Polda mulai melakukan penyidikan ulang untuk memperoleh bukti-bukti baru.
Paling tidak, prosedur penanganan kasus pembunuhan buruh PT. Catur Putra Surya (CPS) pada Mei 1993 itu sudah benar. Bahwa penyidik pekrara  pidana umum adalah POLRI, ini berbeda dengan yang terjadi 7 tahun silam. Tanpa bukti yang cukup, para tersangka ip diciduk aparat militer dan langsung di introgasi dan disekap di Bakorstanasda. Hampir 3 pekan barulah mereka dipindahkan ketahanan Polda.
Rekayasa skenario pun digelar tanpa alat bukti yang cukup kecuali pengakuan para terdakwa dalam BAP dibawah tekanan. Toh, “dewi keadilan” tak dapat ditipu karena akhirnya mereka memperoleh vonis bebas murni. Pengacara Tri Moeldja D. Soerjadi, yang dulu membela Yudi Susanto, direktur CPS yang sempat diadilli, yakin bahwa polisi sudah tau pembunuh sebenarnya. “tapi, masalahnya, ada keterlibatan oknum TNI AD dalam kasus ini sehingga menjadi tembok yang sulit ditembus” UJAR Tri Moeldja. Ia lalu menunjuk intervensi Kodim 0816/Sidoarjo dalam unjuk rasa buruh CPS sebagai indikasi awal.
Karena itu, katanya lagi, “saya yakin marsinah disekap disalah satu instansi militer. Kemungkinan di kodim atau dikoramil.” Ia mengatakan bercak-bercak darah di kodim oleh tim labfor mabes polri saat pengusutan kasus marsinah yang kedua. Maka , untuk mencari pembunuh sebenarnya ,ia menyarankan memeriksa semua pejabat miter dan polri yang bertugas di jawa timur saat tragedy terjadi.
Disisi lain, daftar forensik RSCM FK UI menyinggung keganjagalan visum marsinah yang dilakukan rsud nganjuk dan universitas airlangga dalam visum dari nganjuk yang ditulis mekanisme kematiannya bukan sebab kematian ini tidak lazim.

Daftar Pustaka

Abdul Mun’im. 2013. Indonesia x-fies. Jakarta Selatan. Noura books.
http://uphilunyue.blogspot.com/2013/02/studi-kasus-kematian-marsinah.html?m=1 diakses pada hari Selasa Tanggal 26 November 2013 Pukul 10.12 WIB
http://koranpembebasan.wordpress.com/2012/05/07/tuntaskan-kasus-marsinah/ Rabu 27 November 2013 Pukul 12.05
M. Yahya Harahap, S.H. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi dan peninjauan kembali.Penerbit Sinar Grafika/Edisi Kedua Cetakan Keenam 2005/Jakarta.
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
www. scribd.com/doc/24532924/STUDI-KASUS-MARSINAH. Diakses pada hari Rabu 27 November 2013 Pukul 12.07

Crictical Review Filsafat Politik Islam

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Filsafat islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradaban Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahaan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahaan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat ynag menjadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.
Berbagai tema yang menjadi bahan kajian dalam filsafat politik islam adalah mengambil kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan yang lainnya yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Akan tetapi sesungguhnya filsafat islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan  sebagai berikut :
A. Bagaimana Negara Islam di Madinah ?
B. Bagaimana Pemerintahan Tuhan (Teokrasi) ?
C. Bagaimana Sistem Musyawarah ?
D. Bagaimana Demokrasi dalam Islam ?
E. Bagaimana Interaksi dalam Islam ?
F. Bagimana Kedudukan Wanita dalam Islam ?
G. Bagaimana Peperangan dan Perdamaian dalam pandangan Filsafat Politik Islam ?

1.3. Maksud dan Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut :
A. Menjelaskan Negara Islam di Madinah
B. Menjelaskan Pemerintahan Tuhan (Teokrasi)
C. Menjelaskan Sistem Musyawarah
D. Menjelaskan Demokrasi dalam Islam
E. Menjelaskan Interaksi dalam Islam
F. Menjelaskan Kedudukan Wanita dalam Islam
G. Menjelaskan Peperangan dan Perdamaian dalam pandangan Filsafat Politik Islam






BAB II
PEMBAHASAN
A. Negara Islam di Madinah
Awal pertumbuhan Negara Islam muncul pertama kalinya di Madinah. Masyarakat Islam saat itu memiliki iklim yang memungkinkan berdirinya Negara. Mereka pun memiliki kekuasaan pemerintahan yang mengatur urusan-urusannya.
Masyarakat politik, yakni masyarakat Islam di Madinah, mulai eksis dan memainkan peranannya serta beralih dari prinsip-prinsip teoritis ke prinsip-prinsip praktis setelah berada di madinah. Hal itu terjadi setelah di sana terkumpul unsur-unsur baru dan tercapainya kebebasan serta kedaulatan yang sempurna. Ini tentu saja memungkinkannya untuk meletakkan prinsip-prinsip pokok bagi perundang-undangan Islam. Di sana, tidak ada fungsi pemerintah, kecuali di dalamnya berdiri asas-asas dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.
Pemerintah Islam telah berdiri di Madinah dengan fungsinya sebagai sebuah organisasi pertahanan, mempersiapkan mekanisme untuk melaksanakan keadilan di antara manusia, menyebarkan ilmu, menghidupkan sektor ekonomi, mengikat perjanjian, dan melakukan berbagai kerja sama. Nabi Muhammad SAW. (w. 10 H/632 M) adalah kepala Negara ini, dan pada waktu yang bersamaan, ia adalah nabi, manusia biasa, dan utusan Allah.
Negara Islam berdiri di Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. selama 10 tahun. Selama jangka waktu itu, ia telah menetapkan dasar-dasar dan pilar-pilar bagi Negara Islam yang besar, melahirkan spirit bagi kehidupan politik, dan menggariskan model-model keteladanan dan analogi. Dengan demikian, fase kenabian dalam perspektif sejarah Islam adalah periode pendirian Negara.
Para pengganti selanjutnya, Khulafa’ Ar-Rasyidin, memimpin Negara di bawah petunjuk dan prinsip-prinsip Nabi. Akhirnya, wilayah kekuasaan semakin berkembang dan luas. Setelah kepemimpinan berada di tangan para khalifah bani Anawiyah dan bani Abbasiyah, mereka mulai meninggalkan prinsip-prinsip ini sedikit demi sedikit, sehingga pada akhirnya pemerintahan Abbasiyah tidak tersisa prinsip-prinsip Islam, kecuali sebagian kecil aspek saja.
Demikianlah, melalui benteng Negara dan di bawah benderanya, Islam menyatukan kabilah-kabilah Arab, menanamkan kelembutan di hati mereka, dan menghilangkan fanatisme Jahiliyah sehingga rasa dendam yang mereka pendam menjadi hilang. Semuanya tunduk pada ketetapan Nabi dan perintah-perintah dalam Al-Quran setelah sebelumnya mereka tunduk kepada pemimpin yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, di Negara-negara Arab berdiri pemerintahan pusat yang dihormati. Antusias orang Arab terhadap Islam dan para pemimpinnya tidak jauh berbeda dengan antusias dan kepahlawanannya terhadap berhala sebelum mereka memeluk Islam.
Jelasnya, sesungguhnya Islam telah mengubah moral orang Arab dan membantu menyebarkan keutamaan di antara mereka sehingga bermunculan orang yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Di samping itu, Islam telah menyatukan kabilah-kabilah yang berbeda-beda dan saling bertempur dalam satu Negara kebangsaan yang berasaskan agama Islam. Lebih dari itu, Islam kemudian menjadi sistem politik sekaligus sistem agama.
Critical Review
Berbeda dengan era transisi, era kontrak sosial, dan era kontemporer yang melatar belakangi timbulnya Negara karena rasa ketidakamanan, kesetaraan, menentang penguasa ataupun karena ada kontrak sosial dalam lingkungan masyarakat, Negara Islam di Madinah terbentuk melalui dua fase. Yaitu fase pendahuluan dan persiapan bagi fase berikutnya yang datang setelah hijrah. Pada fase pertama sudah ditemukan benih-benih masyarakat islam dan sudah ditetapkan pula pokok-pokok kaidah islam secara umum. Pada fase kedua, formasi masyarakat islam sudah sempurna dan kaidah-kaidah islam telah mendapat perincian. Lalu, munculah gerakan islam dalam format barunya yang berimplikasi pada keberadaan masyarakat yang diorganisasikan di atas kaidah-kaidah politik dan di bawah satu pimpinan


B. Pemerintahan Tuhan (Teokrasi)
Allah adalah penguasa yang hakiki bagi alam semesta ini. Aturan-aturannya adalah yang tinggi dan abadi. Dalam Al-Quran, alam tak lebih dari kerajaan yang dikendalikan penguasa tunggal, yaitu Allah SWT.
Selama Allah adalah satu-satunya yang memiliki kerajaan, yang memerintah, yang melarang, yang memberi, yang memuliakan, dan yang menghinakan, Dia adalah penguasa yang hakiki dan kekal bagi seluruh alam.
Dengan demikian, Allah adalah penguasa tunggal. Hukum ketuhanan-Nya adalah sumber segala bentuk perundang-undangan dan hukum. Harun Khan Shewarni mengatakan bahwa karena kapasitasnya sebagai penguasa alam semesta, Allah adalah satu-satunya pemilik kekuasaan legislatif yang karenanya kekuasaannya itu menjadi sumber segala produk hukum, baik itu hukum positif atau hukum alam. Karena Allah-melalui hukum-Nya yang abadi-selamanya bertujuan mewujudkan keadilan, keadilan ini mesti selalu menjadi tujuan pula bagi setiap produk hukum dengan bersandar pada hukum-Nya itu.
Negara Islam sudah berdiri pada masa Rasulullah. Ia menangani urusan-urusan penting Negara. Ia pun menangani urusan-urusan pengadilan, militer, dan administrasi. Itu adalah otoritas atau mandat yang diberikan Tuhan kepadanya.
Sesungguhnya Allah telah memiliih Muhammad dan menurunkan Al-Qur’an kepadanya sebagai penjelas tentang cara menyelesaikan persoalan dengan apa yang telah Allah  tetapkan, baik berupa perintah atau larangan. Dengan demikian, Nabi tidak menyelesaikan persoalan berdasarkan pemikiran atau ketetapannya sendiri, tetapi berdasarkan ketetapan dan hukum Tuhan.
Allah telah memilih Muhammad untuk menjadi khalifah di muka bumi dan hakim yang memutuskan perkara di antara manusia dengan adil. Ini artinya bahwa ia memutuskan persoalan pengadilan hanya mengikuti apa yang telah Allah turunkan kepada-Nya, yakni berupa ayat-ayat Al-Qur’an.
Disamping menangani langsung urusan-urusan pengadilan, Nabi pun menangani langsung urusan perdamaian dan peperangan. Kita pun harus menyimpulkan bahwa semua itu karena Nabi memperoleh otoritas dari Tuhan. Selain menangani urusan fasilitas Negara, Nabi pun menangani urusan pemasukan Negara dari berbagai sektor, menentukan para pejabatnya, dan membagikannya kepada yang berhak memerimanya.
Demikianlah, Nabi menghimpun sifat kenabian, kerasulan yang karenanya beliau berkewajiban menyampaikan risalah kepada segenap manusia dan kepemimpinan Negara yang karenanya ia merumuskan hukum dan sistem yang bersandar kepada penguasa alam semesta ini, Allah.
Critical Review:
Apabila membandingkan konsep pemerintahan barat dengan islam, disini sangat jelas sekali bahwa pemerintahan Tuhan lah yang lebih absolut. Karena jelas sekali bahwa Allah langsung menurunkan perintah kepada Nabi Muhammad untuk menjadi khalifah di muka bumi, dan membuat pemerintahan berdasarkan petunjuk yang diberikan Allah SWT dalam kitab Al-Qur’an. Segala bentuk keputusan yang dibuat adalah atas dasar ketetapan dari Allah SWT, bukan berdasarkan hasil buatan dari manusia. Dengan demikian apabila melihat pada pemerintahan barat yang semua konsepnya itu dibuat oleh manusia itu sendiri, jelas sifatnya tidak absolut, karena bisa saja keputusan yang dibuat itu tidak berdasarkan pada kondisi sekitar, hanya untuk kalangan tertentu saja. Dan tidak sedikit orang yang ada pada pemerintahan yang berkonsep barat, melakukan pembangkangan kepada pemerintahannya, karena dirasa tidak mementingkan kepentingan orang banyak. Maka dari itu tetap konsep pemerintahan Tuhan lah (Teokrasi) yang menjadi pedoman manusia dalam membentuk suatu pemerintahan, karena segala ketetapan dari Allah SWT mempunyai sifat yang kekal dan abadi, dan tidak ada seorang manusia pun yang bisa membantah perintah tersebut, karena itu adalah Hukum Tuhan.


C. Sistem Musyawarah
Meskipun Al-Qur’an mencakup segala persoalan dan Rasulullah memutuskan perkara dengan Al-Qur’an, tetapi Islam tidak menutup rapat-rapat pintu ijtihad. Berkaitan dengan ini, kita harus membedakan dua hal berikut :
1.  Masalah-masalah tauqifiyyah, yakni masalah yang berkaitan dengan urusan agama, akidah, dan ibadah. Untuk masalah yang ini, Islam tidak memberikan ruang bagi musyawarah dan pendapat. Untuk masalah yang ini pun, Nabi hanya sebatas menyampaikan. Kita pun semestinya hanya sebatas menaati dan melaksanakan.
2.  Masalah-masalah taufiqiyyah, yakni masalah yang berkaitan dengan urusan keduniaan, hukum, keseharian, dan yang bertalian dengan konteks temporal. Untuk masalah yang satu ini, manusia diberi ruang untuk bermusyawarah dan berpendapat.
Artinya, musyawarah adalah sistem, yang diperkenalkan Negara Islam. Rasulullah SAW. diperintahkan bermusyawarah dengan para sahabat dalam masalah perang untuk menemukan gagasan yang tepat. Sebagiannya lagi mengatakan bahwa Rasulullah SAW. diperintahkan bermusyawarah dengan para sahabat untuk menemukan sesuatu yang bermanfaat. Sebagiannya lagi mengatakan bahwa Rasulullah diperintahkan bermusyawarah dengan para sahabat agar kemudian menjadi tradisi yang diikuti generasi selanjutnya.
Allah menurunkan wahyu berupa gagasan yang benar kepada Rasul sehingga tidak diperlukan lagi musyawarah. Nun, Allah menghendaki supaya prinsip musyawarah ini menjadi prinsip umum bagi sistem politik dan sosial umat. Untuk tujuan itu, Allah menjadikan Rasul sebagai teladan bagi orang-orang yang beriman. Allah memerintahkan Rasul untuk bermusyawarah dalam memecahkan suatu permasalahan.
Critical Review :
Dalam pandangan islam sistem musyawarah sangat diajurkan seperti firman Allah SWT dalam QS Asy-Syura : 38, dalam kandungan ayat tersebut dijelaskan bagaimana kewajiban bermusyawarah terutama masalah keduniaan.
D. Demokrasi dalam Islam
Sistem musyawarah, sebagaimana dijelaskan di atas, sekilas menggambarkan keberadaan demokrasi. Di antara makna demokrasi adalah memberikan ruang apapun kondisinya bagi rakyat untuk berpendapat dan tidak memutuskan sesuatu, kecuali melalui musyawarah. Sebenarnya, demokrasi Islam telah tegak di atas dasar sistem musyawarah ini. Indikasinya Islam mengakui adanya pertanggungjawaban individual, menjadikan hak-hak umum sebagai sesuatu yang sama di antara manusia, dan menguatkan solidaritas antar rakyat meskipun berbeda-beda kelas sosialnya. Demokrasi Islam tegak di atas empat prinsip berikut ini:
1. Pertanggungjawaban Individual
Islam mengakui keberadaan pertanggungjawaban individual dan menegaskannya secara jelas.
Pertama, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas dosa yang dilakukan orang lain.
Kedua, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas dosa bapak atau kakeknya, atau dosa yang terjadi sebelum kelahirannya.
Ketiga, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas dosa yang tidak dilakukannya.
Rasulullah pun menguatkan keberadaan pertanggungjawaban individual ini melalui sabdanya, “Setiap diri kamu pemimpin dan setiap diri kamu mempunyai tanggung jawab dari kepemimpinannya dan seorang laki-laki itu memimpin dalam memimpin keluarganya dan dia yang mempunyai tanggung jawab pada kepemimpinannya. Kalian semua adalah pemimpin. Kalian semua pun akan dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang kalian pimpin. Seorang penguasa adalah pemimpin rakyatnya; seorang suami adalah pemimpina bagi keluarganya. Ia akan bertanggung jawab terhadap mereka. Sedangkan seorang istri adalah pemimpin rumah suami dan anak-anaknya. Ia akan bertanggun jawab terhadap mereka. Seorang hamba adalah penjaga harta tuannya dan dia juga akan bertanggung jawab terhadap jagoannya. Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab terdapa apa yang kamu pimpin.” (Muttafaq ‘allaih).
2. Persamaan Antar manusia
Al-Quran pun menegaskan persamaan antar manusia. Persamaan ini adalah penopang yang paling dominan bagi demokrasi.
Manusia sama di hadapan Allah. Allah tidak melebihkan laki-laki atas perempuan, atau satu bangsa atas bangsa lainnya, atau satu kabilah atas kabilah lainnya, kecuali atas dasar ketakwaannya.

3. Pemerintah dengan Sistem Musyawarah
Pemerintah dengan sistem musyawarah, sebagaimana telah dijelaskan adalah karakteristik pokok bahkan substansi demokrasi. Ini dengan sendirinya berbeda dengan konstitusi monarki atau pemerintah tirani. Berbeda pula dengan konstitusi oligarki atau pemerintah minoritas. Dalam Islam, seorang pemimpin harus bermusyawarah dengan bawahannya untuk menyerap aspirasi. Inilah makna demokrasi yang muncul dari pemerintahan dengan sistem musyawarah.
4. Solidaritas antara Semua Golongan dan Tingkatan
Islam menetapkan bahwa setiap orang mempunyai hak menhindarkan keburukan dari dirinya dan dari orang lain. Inilah dasar-dasar tempat bertopang demokrasi Islam, yaitu pertanggungjawaban individual, persamaan, menolak pembelengguan terhadap akal, dan saling bekerja sama menangkal keburukan.
Critical Review :
Dalam pandangan islam Allah SWT berada pada posisi sentral (Theocentric) dalam segala urusan, menjadi sumber dari semua sumber. Sedangkan mazhab barat yang selalu menempatkan manusia pada posisi sentral (Anthropocentric) bahkan kadang lebih sempit lagi menempatkan bangsa barat dalam posisi sentral (Ethnocentric).

E. Interaksi dalam Masyarakat Islam
Islam mengharamkan pertumpahan darah dan melakukan balas dendam. Islam menyuruh melimpahkan persoalan itu kepada hakim. Hakim lalu memerintahkan kepada para algojo untuk melakukan qisas.
Islam telah meletakkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang mengatur hubungan antara individu dan komunitas muslim, seperti jual-beli. Islam pun menaruh perhatian besar terhadap keluarga. Oleh karena itu, Islam menetapkan aturan tentang nikah dan cerai, serta kewajiban nafkah bagi suami untuk istri, bagi ayah untuk anak atau bagi anak untuk ayah. Islam menamai akad atau ikatan suami istri sebagai perjanjian yang kuat atau ikatan cinta dan kasih sayang.
Islam menetapkan aturan mahar tanpa memberi batasan kuantitasnya dan nafkah yang harus diterima istri atas kewajiban suaminya. Islam melarang untuk menikahi orang musyrik, mengharamkan pernikahan dengan ibu, saudara perempuan, dan orang yang menyerupainya.
Islam memerhatikan dengan serius unsur-unsur kekerabatan dan mendorong untuk memerhatikan keutamaan-keutamaan dan etika yang tinggi, seperti manusia meminta izin sebelum memasuki rumah orang lain.
Critical Review :
Apabila dalam, paham sosialisme komunis Negara sering terlibat (Bold State) pada pengaturan kehidupan masyarakatnya, sedangkan pada paham liberalism kapitalis Negara memberikan kebebasan (No State) termasuk untuk berjudi, melacur, dan memiliki senjata api, maka dalam ideolodi islam, pemerintah Negara melindungi hanya untuk yang baik dan benar (amar ma’ruf) sedangkan untuk yang buruk pemerintah harus mengantisipasinya (Nahi Mungkar).

F. Kedudukan Wanita dalam Islam
Nasib wanita pada abad pertengahan bagi Yunani, Romawi, dan lainnya adalah bagaikan barang atau hewan. Ia tidak memiliki hak apapun dalam kepemilikan dengan cara apapun. Ia tidak mempunyai hak waris sama sekali, juga tidak mempunyai hak memperoleh pelajaran. Adapun Islam telah mewajibkan setiap muslim, baik pria maupun wanita, untuk menuntut ilmu. Islam pun telah mewajibkan kaum mukminat untuk membaca Al-Quran dan menuntut ilmu.
Aisyah bahkan terlibat dalam urusan politik ketika terjadi peristiwa Perang Jamal. Demikian pula, saudara perempuannya yang bernama Asma’ binti Abu Bakar (w. 610 M) dan Umm ‘Abdillah bin Az-Zubair yang terkenal dengan periwatan hadisnya.
Islam menyamakan antara wanita dan pria hampir dalam semua hak. Dalam persoalan pembagian warisan yang dikesani merugikan wanita, ternyata kami menemukan bahwa bagian wanita akan bertambah dengan melihat kenyataan bahwa sebagian besar biaya hidupnya ditanggung pria (suaminya), atau dengan melihat kenyataan bahwa suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya. Lalu, bagaimana mungkin dikesani bahwa Islam merugikan wanita? Padahal, Islam sangat toleran kepada wanita.
Islam membolehkan perceraian jika hak itu dianggap penting dilakukan. Rasulullah SWA bersabda, “Kehalalan yang paling dibenci Allah adalah cerai”. Oleh karena itu, para ulama fiqh mengharamkan talak bagi pasangan suami-istri yang harmonis. Islam memberikan hak menjatuhkan cerai pada pria karena dialah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, biaya rumah tangga, dan pendidikan anak-anaknya. Islam memerintahkan suami untuk menggauli dan memperlakukan istrinya dengan baik.
Islam pun menakut-nakuti pria dengan kerugian agama dan materi ketika memperlakukan istrinya dengan tidak baik. Para penyusun Undang-Undang Eropa sekarang mulai mengadopsi apa yang dahulu mereka tolak dari Islam. Sekarang mereka melegalkan perceraian setelah mereka merasakan sisi positifnya.
Critical Review :
Prinsip pokok dalam ajaran islam adalah persamaan antar manusia baik antar laki-laki, perempuan, maupun antar suku, bangsa dan keturunan. Perbedaan yang perlu digaris bawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ajaran islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.

G. Peperangan dan Perdamaian
Islam adalah agama perdamaian dan kasih sayang. Para peneliti bahkan menyatakan bahwa Islam adalah agama toleransi, yang mempermudah, mencintai perdamaian, bukan peperangan.  Kehidupan Rasulullah SAW pun memberikan contoh paling baik untuk toleransi, saling memaafkan, kasih sayang, dan perdamaian. Meskipun umatnya terus mendapatkan tekanan dari kaum kafir Quraissy, Rasul tetap mendoakan musuh-musuh Islam dengan penuh kasih sayang, toleransi, dan memaafkan “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak pernah mengetahui”. Bahkan, dalam peperangan, Rasul memohon kepada Allah agar musuh-musuhnya cenderung pada kedamaian.
Critical Review :
Secara filsafat, islam mengizinkan perang kepada ketidakadilan, kezaliman, tetapi islam juga wajib berkasih sayang kepada kebaikan dan kebenaran hal ini dilakukan oleh pemerintah yang islami disebut dengan perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar.







BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Apabila dalam politik dan hukum sosialisme komunis pemerintah melakukan proteksi secara komprehensif bagi kehidupan masyarakat agar tercipta efektivitas, sedangkan pada politik dan hukum liberalisme kapitalis, pemerintah mengaharapkan welfare (kemakmuran individu) dalam rangka terciptanya responsivitas, maka dalam politik dan hukum islam pemerintah harus menyeimbangkan antara kekuasaan dan pelayanan untuk itulah harus ada kepemimpinan pemerintahan yang islami.
3.2 Saran
Agar syariat islam dapat ditegakan para pemeluk agama islam sebaiknya memahami isi dari Al-Qur’an secara kontekstual
Dalam kepemimpinan pemerintahan islam moralitas agama hanya sekedar menolak sekulerisme












DAFTAR PUSTAKA
Ilham Mustofalahyar. 2013. Fenomena Filsafat dan Mantiq Ibn Taimiyyah. Id.m. Wikibooks.org/wiki/filsafat_islam_pasca-ibn_rusyd/filsuf_islam_pasca-ibn_rus/ibn_taimiyyah. Diakses pada hari Minggu 15 Desember 2013 Pukul 11.41 WIB
Kencana, Inu. 2005. Filsafat Politik. Bandung : CV. Mandar Maju.
Muhammad, Ali Abdul Muti. 2010. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. Bandung : Pustaka Setia.

Crictical review pemikiran politik di era transisi

CRITICAL REVIEW
PEMIKIRAN POLITIK DI ERA TRANSISI

I. PENDAHULUAN
Critical review ini terdiri dari dua sumber buku yang dijadikan sebagai acuan yaitu diantaranya :
(1) Filsafat Politik (kajian historis dari zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern), buah karya dari Henry J. Schmandt(2009), cetakan ke-3.
(2) Filsafat Politik antara Barat dan Islam, buah karya dari Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad(2010) cetakan ke-1.
Pada critical review ini, kami memfokuskan pembahasan materi mengenai filsapat politik di era transisi yang didalamnya berisi : pemikiran politik zaman pertengahan, Machiavelli, negara yang berdaulat, Martin Luther, dan Jean Bodin. Dari kedua buku tersebut, kami membandingkan pendapat-pendapat dari para penulis dengan memberikan critical review terhadap pemikiran penulis tersebut serta mengenai pemikiran politik para ahlinya.
Pemikiran-pemikiran politik yang ada pada di era transisi ini patut untuk kita fahami untuk menjadi suatu acuan serta pembelajaran bagi kehidupan kita sehari-hari agar dapat membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan.


II. RINGKASAN
A. Pemikiran Politik Zama Pertengahan
(Di kutip dari buku : Filsafat Politik (kajian historis dari zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern), buah karya dari Henry J. Schmandt(2009), cetakan ke-3.  )
Zaman pencerahan merupakan sebuah gerakan pembaharuan atau pencerahan terhadap suatu tatanan kehidupan yang dianggap tidak sesuai dengan tuntutan zaman di Eropa. Pada zaman ini memberikan suatu semangat kritisme yang muncul di bidang filsafat, sastra dan disiplin ilmu klasik, serta semangat untuk melakukan penelitian dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi.
Secara intelektual dan budaya, pencerahan menyaksikan meningkatnya minat dalam seni dan sastra, dan bersamaan dengan itu berkurangnya pada etika, metafisika, dan teologi. Orientasinya adalah menuju yang sekuler dan sekulerisme, bukan religious dan spiritual.
Misalnya seperti uang logam, sebagai pengganti barter mulai digunakan dan perdagangan berkembang cepat. Dari segi sosial,kelas menengah-kaum borjuis, pedagang-mulai menjadi pusat kehidupan sosial dan ekonomi bagi dirinya yang berpindah ke kota-kota yang mulai berkembang.

(Di kutip dari buku : Filsafat Politik antara Barat dan Islam, buah karya dari Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad(2010) cetakan ke-1. )
Secara historis Renaisans ini terjadi pada pertengahan abad ke-14 sampai akahir abad ke-16. Italia merupakan negara yang mengusung gerakan tersebut. Ada beberapa faktor penting yang melahirkan gerakan renaisans di Eropa, di antaranya :
1. Perang antar suku dan etnis, sehingga menimbulkan perpecahan di Eropa Timur dan membangkitkan kesusastraan setiap bahasa
2. Munculnya seorang sastrawan dan pemikir terkenal di Italia seperti Dante adalah sebuat refleksi dari kebangkitan sastra tersebut. Ia juga menjadi rujukan penting ilmu sastra pada saat itu
3. Dorongan untuk mengumpulkan beberapa manuskrip penting dan mempelajarinya
4. Munculnya percetakan-percetakan buku secara besar-besaran pada akhir abad ke-15
5. Kemajuan yang mulai terjadi di Barat pada awal abad ke-15 sehingga banyak pemikir yang berdatangan kesana untuk mendapatkan suaka politik. Hal ini banyak memberikan keuntungan bagi pertumbuhan pemikiran di Eropa.
Hal itulah di antara beberapa faktor penting lahirnya gerakan renaisans di Eropa yang berpusat di Italia. Hal ini dikarenakan Italia adalah salah satu wilayah yang paling berkembang dan maju saat itu. Kemudian beberapa pengaruh yang terjadi di Eropa akibat geraka Renaisans, diantaranya sebagai berikut :
1. Perlawanan terhadap agama, moral, dan etika untuk memisahkannya dari ruang politik, sosial, ekonomi, budaya dan sains. Gerakan ini diusung oleh Marchiavelli dan Bodin
2. Munculnya sastra nasionalisme di Eropa
3. Tumbuhnya semangat kebangkitan untuk melakukan pembaharuan dan inovasi pada setiap aspek politik, ekonomi, sastra, seni dan ilmiah
4. Munculnya gerakan reformasi agama yang melahirkan aliran baru dalam agama Kristen yang disebut dengan aliran Kristen Protestan
5. Gerakan Renaisans memberikan cara baru kepada bangsa Eropa dalam memahami arti kehidupan dan alam semesta.

B. Machiavelli
(Di kutip dari buku : Filsafat Politik (kajian historis dari zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern), buah karya dari Henry J. Schmandt(2009), cetakan ke-3.  )
Niccolo Machiavelli adalah anak zaman Renaisans yang dilahirkan di Florence, Italia pada 3 Mei 1469 M dan wafat pada 21 Juni 1498 M. Ketika Florence menjadi sebuah republik, ia memperoleh jabatan pemerintah yang bertanggungjawab atas kebijakan-kebijakan negara, di antaranya menyangkut masalah pertahanan negara dan hubungan-hubungan luar negeri. Namanya pun kemudian mencuat sebagai seorang politisi ulung.
Sebuah karya yang ditulis Machiavelli pada mulanya untuk “merebut hati” keluarga penguasa Medici. Dengan menulis buku itu, Machiavelli berharap bisa direkrut kembali sebagai pejabat negara dalam pemerintahan Medici di Italia ketika itu. Tapi upaya itu gagal, Machiavelli harus menerima kenyataan dirinya tetap diasingkan (dan sebelumnya disiksa, 1513) oleh penguasa Medici.
Sekalipun gagal “merebut hati” penguasa Medici, Buku The Prince berhasil memperoleh popularitas di kalangan publik Italia. Hal itu karena The Prince memberkan wacana baru tentang bagaimana cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. The Prince merekomendasikan untuk menggunakan kebengisan, pengkhianatan, kekejaman, dan cara-cara iblis demi meraih kekuasaan politik. Machiavelli sangat mengagumi Cesare Borgia yang mempraktikan pengkhianatan, penyiksaan dan pembunuhan sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dalam persfektif Machiavellian, metode Cesare Borgia sangan efektif dalam meraih dan mempertahanakan kekuasaan. Kedua, Machiavelli merupakan pemikir yang termasuk paling ilmiah dan sistematis merumuskan bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan prinsip menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Ketiga, Machiavelli membedakan secara tegas antara kepentingan-kepentingan kekuasaan dengan prinsip-prinsip moralitas. Keduanya merupakan domain yang berbeda.
Disinilah letak perbedaan radikal antara Machiavelli denga para filosof sebelumnya. Umumnya para filosof merekomendasikan keadilan, kejujuran, simpati, kasih sayang, dan kebajikan-kebajikan moral lainnya sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan.

(Di kutip dari buku : Filsafat Politik antara Barat dan Islam, buah karya dari Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad(2010) cetakan ke-1. )
Machiavelli dikenal sebagai seorang pakar politik kekuasaan, dan Max Lerner menyebutnya “Bapak Politik Kekuasaan”, serta sebagaimana dikemukakan oleh banyak para ahli, G.H. Sabine berpandangan karya-karya Machiavelli mengenai politik kurang dapat digolongkan dalam teori-teori politik, lebih tepat dimasukkan dalam jenis tulisan diplomatik.
Machiavelli beranggapan bahwa untuk menjunjung tinggi sebuah simbol negara, maka diperlukan cara-cara yang tidak boleh dikaitkan dengan asas nilai atau moral. Menurutnya, penguasa berhak melakukan apapun, baik atau buruk, cara halus atau cara kasar, untuk mempertahankan kekuasaannya dari segala ancaman yang akan mereduksi legitimasinya yang itu dikhawatirkan oleh Machiavelli akan menimbulkan disintegrasi nasional. Nilai-nilai keagamaan, moralitas adalah hal yang harus dipisahkan dari unsur-unsur politik kenegaraan. Agama hanyalah sebagai penopang, atau kendaraan yang mampu digunakan seperlunya, selama itu mendukung pada kepentingan penguasa dalam berkuasa.


C. Negara Yang Berdaulat
(Di kutip dari buku : Filsafat Politik (kajian historis dari zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern), buah karya dari Henry J. Schmandt(2009), cetakan ke-3.  )
Selama zama pertengahan tidak terdapat konsepsi yang jelas tentang negara sebagai lembaga bedaulat yang menjalankan kekuasaan tertinggi dengan batas-batasnya sendiri dan mempunyai kemerdekaan penuh dari entitas politik lain yang ada diluar batas-batas teritorinya. Kehadiran dua wilayah kekuasaan-gereja dan negara- masing-masing dengan organisasi dengan sistem hukumnya sendiri.
Dampak feodalisme yang terdesentralisasi pada kontrol politik, dan fiksi tentang kerajaan dunia. Kerajaan dunia menjadikan ide kedaulatan nasional sulit dipahami. Terdapat empat kendala yang ada dalam doktrin tentang letak kedaulatan selama abad pertengahan, yaitu :
a) Ide tentang dominasi hukum ketuhanan dan hukum alam terhadap hukum positif
b) Konflik gereja-negara
c) Gagasan tentang bentuk pemerintah gabungan
d) Kondisi feodal negara
Para penulis klasik dan abad pertengahan menyadari perlunya kekuasaan tertinggi dalam badan politik. Mereka melihat bahwa harus ada orang atau lembaga tertinggi yang mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan politik terakhir yang tidak terikat pada otoritas pemerintah yang lebih tinggi darinya. Namun demikian, mereka tidak melihat kekuasaan tertinggi sebagai yang absolut, mereka menganggap kekuasaan tersebut tetap tunggu pada hukum ketuhanan, hukum alam, kebiasaan. Dengan lahirnya negara nasional dan monarki yang terpusat, ide tradisional tentang kekuasaan politik mulai mengalami modifikasi dasar yang mengubah wataknya secara radikal. Bukti pertama akan perubahan ini terlihat dalam pemikiran politik akhir abad ke-16.

Teori Ketuhanan Raja
Pemikiran abad pertengahan menekankan kesucian kekuasaan sekuler dan perlunya ketundukan padanya sepanjang kekuasaan tersebut tetap adil. Sementara para pemikir protestan jaman reformasi bahkan memberi tekanan lebih besar oleh para pemikir protestan jaman reformasi bahkan memberi tekanan lebih besar oleh sifat ketuhanan dari otoritas politik, konsep tersebut pada umumnya tetap saja berupa bahwa kekuasaan raja berasal dari Tuhan dan dari rakyat. Tidak ada reformis yang berusaha merumuskan dalam pengertian yang spesifik dan teoritis menyangkut ide bahwa penguasa memperoleh otoritasnya dari intervensi langsung Tuhan dan karena nya berada diluar dan lebih tinggi dari masyarakat. Sepanjang doktrin kepatuhan pasif dominan dalam negara nasional yang sedang tumbuh, para pendukung absolutisme kerajaan setuju membiarkan teori yang ada tanpa terusik. Namun ketika juru bicara agama baik katolik maupun protestan, mulai mengedepankan doktrin presistensi aktif rakyat pada kekuasaan tirani, beberapa pendukung model kerajaan menentangnya dengan mencoba memberi hak khusus kepada raja.






D. Marthin Luther
(Di kutip dari buku : Filsafat Politik antara Barat dan Islam, buah karya dari Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad(2010) cetakan ke-1. )
Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 di negara Eisleben di daerah Saxony. Luther kecil adalah seorang anak yang cerdas. Pada tahun 1501, Ia memilih menempuh jalan kependetaan Augustian dan menjadi pendeta bagi sekelompok pengikut Augustian yang reformer. Luther tidak sadar bahwa dimasa yang akan datang Ia akan menyerang dan membuang kependetaan. Ia sendiri yang menghancurkan sendi-sendi gereja katolik. Ia pulalah pencetus gerakan Protestan yang membagi Eropa ke dua kubu yang sulit dipertemukan.
Luther memiliki keutamaan tersendiri karena dua pemikirannya yang penting dalam bidang politik. Pertama, pemisahnnya secara mutlak antara kepentingan dan kekuasaan dunia dengan kepentingan dan kekuasaan spiritual. Kedua, pemikirannya yang mengatakan bahwa diantara kewajiban orang kristen adalah ketundukan tang pasif terhadap undang-undang politik dan sosial. Di dalam suratnya yang ia tulis untuk para cendikiawan dari kalangan kristen Jerman, Luther menjelaskan bahwa tujuan yang hendak ia raih adalah membangkitkan rasa nasionalisme jerman untuk melawan rasa nasionalisme Italia dengan konsekuensi wajib menghapus bentuk kekuasaan Paus di luar zona gereja Romawi.
Luther berpendapat bahwa semua hal yang berkaitan dengan kekayaan, kedudukan, atau materi pada umumnya harus merupakan urusan pemerintah dunia semata. Sesugguhnya Paus, para uskup, dan para pendeta hanyalah pegawai yang ikut menata kegiatan politik. Luther memberikan warna pada ketuhanan pada pemerintahan sipil. Ia berpendapat bahwa menegakan pemerintahan sipil yang kekuasaanya mengikuti model yang ditetapkan oleh Allah merupakan suatu keharusan, karena mayoritas manusia bukanlah orang kristen . Pada kesempatan lain Luther menegaskan bahwa injil mendorong orang kristen untuk tunduk pada pemerintahan sipil. Diantara kewajiban orang kristen lainnya adalah taat pada pimpinan dan melindunginya walaupun pemimpin tersebut berbuat salah. Oleh karena itu rakyat wajib melaksanakan perintah-perintah pimpinan, baik mereka itu orang kristen atau bukan.
Adapun beberapa faktor penyebab dan latar belakang munculnya gerakan reformis protestan, antara lain :
a) Produk perlawana terhadap gereja katolisisme
Selama berabad-abad gereja dan lembaga kepausan telah banyak melakukan penyimpangan keagamaan tanpa ada satupun yang bisa menentang atau meluruskan penyimpangan-penyimpangan itu. Kalaupun ada, biasanya gagal dan berkahir secara dramatis seperti yang dialami Giordano Bruno.
b) Terjadinya perkembagan kapitalisme dan krisis-krisis ekonomi di kawasan imperium Roma.
Inilah faktor ekonomi yang menjadi acuan munculnya gerakan reformasi protestan. Perkembangan kapitalisme yang sedemikian cepat yang terjadi di Eropa, khususnya Italia, Jerman, Inggris, Perancis, dan lain-lain membawa dampak serius terhadap doktrin keagamaan. Seperti kasus tentang ajaran pembungaan uang dengan permasalahan dihalalkan atau diharamkan.
c) Penarikan pajak-pajak yang memberatkan
Dalam masalah penarikan pajak yang dirasa memberatkan, berdampak terhadap permasalahan krisis ekonomi. Merasa tertekan akibat pajak penduduk, terutama dari kalangan bawah (petani, pekerja dan lain-lain), yang berada dalam dominasi imperium gereja katolik. Ini mengakibatkan dari kalangan bawah merasa tertekan ekonomi, pendapatan kas gereja melimpah ruah, dan banyak melakukan pembangunan-pembangunan gereja mewah vatikan. Di lain sisi, di daerah-daerah lain seperti jerman mengalami kesulitan dan untuk membangun rumah ibadah. Kasus seperti inilah yang akhirnya timbul tuntutan untuk dihapuskannya pemungutan pajak yang dilakukan oleh orang-orang bangsawan.
d) Kebangkitan nasionalisme di Eropa
Nasionalisme tumbuh subur di Eropa utara seperti Inggris, Perancis dan Jerman. Ini disebabkan karena warganya dalam intervensi Paus dalam permasalahan internal negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, mereka berhak untuk menentukan nasibnya sendiri,. Paus dianggap sebagai kekuatan asing yang eksploritatif dan harus dilawan.


E. Jean Bodin
(Di kutip dari buku : Filsafat Politik (kajian historis dari zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern), buah karya dari Henry J. Schmandt(2009), cetakan ke-3.  )
Jean Bodin : Teori Negara yang Berdaulat
Jean Bodin (1530-1596) biasanya dihubungkan dengan asal-usul konsep modern tentang kedaulatan. Dia lahir di Anjou, Prancis, dari keluarga kelas menengah yang kaya, Bodin belajar filsafat dan bahasa di Paris dan hukum di Toulouse. Pada tahn 1561 ia meninggalkana profesi pengajar dan menjalani profesi sebagai praktisi hukum di Paris. Sepuluh tahun kemudia ia masuk kedalam rumah tangga saudara raja, Duke of  Alecon, sebagai penasehat. Dari sini dia mulai mengetahui dunia politik, dengan kedudukannya ini ia menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk memperluas pengetahuannya tentang masalah kenegaraan.
Karya terbaik Bodin adalah Six Book of Commonwealth. Ini sangat penting sebagai karya pertama yang membahas teori kedaulatan modern. Commonwealth menawarkan pernyataan filasafat politik yang paling matang dalam abad ke-16. Bodin berusaha mengedepankan prinsip-prinsip fundamental yang diatasnya tatanan sosial yang permanen dibangun, ia yakin bahwa tugas pertama adalah menemukan pemahaman yang jelas mengenai otoritas politik. Ia menganggap menemukan elemen dasar ini dalam doktrin kedaulatannya.
Warga Negara
Bodin mendefinisikan negara sebagai pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluaraga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat. Ia mencatat terdapat empat unsur pokok yang perlu dilihat disini: tatanan yang benar, keluarga, kekuasaan yang berdaulat, dan tujuan bersama. Kehidupan yang baik dan bahagia yang oleh para pemikir klasik dianggap sebagai elemen negara tidak masih dalam bagian disini meskipun ia merupakan tujuan tertinggi yang harus diperjuangkan.
Bodin mengikuti Aristoteles dalam pendirian bahwa keluarga dan individulah yang menjadi unit dasar negara. Lebih dari itu, keluarga adalah komunitas alamiah yang melahirkan masyarakat yang lebih kompleks. Bodi yakin bahwa manusia, sebagai akibat kejatuhan, adalah curang dan suka memberontak. Ia yakin bahwa kebutuhan pokok manusia adalah disiplin dalam mengekang dorongan jahatnya. Ia mendesak agar otoritas ayah diperkuat, hanya dengan cara ini  kebiasaan patuh bisa ditanamakan pada mereka, sehingga dikemudian hari mereka akan menjadi warga negara yang patuh kepada penguasanya.
Meskipun Bodin mengikuti aristoteles dalam menekankan keluarga sebagai satuan pokok masyarakat, ia tidak menerima perbedaan pendahulunya ini antara ayah terhadap keluarga dan kekuasaan politik. Dengan mengabaikan perbedaan ini, Bodin mampu menerapkan analogi keluarga agar cocok dengan tujuan teori politik. Menurut Bodin, negara mempunyai asal-usul dalam kekuatan dan kekerasan. Keadaan alamiah menurut hobbes “kekuasaan, kekerasan, ambisi, kebencian, dan nafsu membuat manusia bermusuhan satu sama lain. Kondisi ini mendorong keluarga-keluarga untuk bersatu demi pertahanaan bersama dan keuntungan lainya serta untuk mengakui kekuasaan politik yang berdaulat. Menurut Bodin, Aristoteles dan pemikir lain adalah salah, dengan mengira bahwa penguasa pertama dipilih karena keadilan dan kebajikan mereka. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan fisik yang diperlukan untuk mendukung orang lain dii bawah perintah mereka.

 Kedaulatan
Bodin berpendapat bahwa elemen yang membedakan negara dari semua bentuk asosiasi manusia yang lain adalah kedaulatan. Tidak ada commonwealth  yang sejati tanpa kekuasaan yang ada berdaulat yang menyatukan semua anggotanya. Suatu otoritas yang mutlak dan tertinggi yang tunduk pada kekuasaan manusia lainnya harus ada dalam lembaga politik. Ini adalah prinsip pertama dan paling fundamental dari teori politik Bodin. Menuru Bodin kedaulatan adalah kekuasaan absolut dan abadi yang diletakan pada commonwealth.
Kualitas-kualitas dasar dari kedaulatan adalah kemutlakan, kelanggengan, dan tidak dapat dibuang (indivisibility). Kedaulatan adalah permanen karena tidak ada batas waktu yang ditetapkan dalam pelaksanaanya. Yang akhirnya kekuasaan tidak dapat dibagi-bagi karena bertentangan dalam istilahnya. Tanda khas dan mendasar dari kedaulatan adalah kekuasaan untuk membuat hukum dan melaksanakan kedaulatan ini.
Bodin keberatan dengan klasifikasi pemerintah aristoteles menjadi bentuk yang baik dan buruk, dengan menyatakan bahwa hanya tiga jenis pemerintah dan ketiganya dibedakan oleh kedudukan dari kedaulatan: pada satu orang, beberapa orang, atau banyak orang. Bodin juga menolak ide negara gabungan denga alasan bahwa jenis negara ini, dengan pembagian kekuasaanya, tidak bisa eksis, karena kedaulatan pada dasarnya tidak bisa dibagi-bagi. Dan di bawah konstitusi gabungan akan terdapat perselisiahan tentang apakah kedaulatan terletak pada raja, sebagian orang atau semua orang.

Arti Penting Bodin
Dalam menilai filsafat politik Bodin, ada dua pertannyaan yang bisa diajukan: (1) apakah ada suatu yang baru dalam idenya tentang kedaulatn yang berbeda dari teori sebelumnnya? dan (2) dengan melihat bahwa ia mengitrodusir elemen baru dalam konsep otoritas politik, apakah pengaruhnya bagi perkembangan pemikiran politik dimasa depan?. Bodin dalam batas tertentu tetap menjadi tradisi abad pertengahan, sebagaimana terbukti dalam pendiriannya akan ketundukan penguasa pada hukum alam dan hukum ketuhanan dan pada batas-batas spesifik lainya.
Karena Bodin menerapkan pembatasan ini pada penguasa, maka banyak pemikir yang berpendapat bahwa dia dalam persimpangan jalan antara pemikiran abad pertengahan dan pandangan modern  tentang kedaulatan sebagai hukum sepenuhnya bebas dari hukum dunia. Jika konsep klasik dan pertengahan tentang negara sebagai komunitas individu yang mempunyai hukum dan konstitusi sendiri adalah benar, maka upaya Bodin untuk menyamakan kedaulatan dengan penguasa secara logis adalah mustahil.
Kedaulatan menurut pandangan tradisional terletak komunitas politik dan bukan pada individu yang menjalankan kekuasaan publik pada batas waktu tertentu. Untu mengatasi hal ini Bodin menyatakan bahwa rakyat sebagai badan politik secara mutlak dan tanpa syarat memisahkan diri dari kekuasaan totalnya dengan tujuan menyerahkan kekuasaan pada penguasa. Ini bukan pendelegasian tetapi penyerahan secara penuh kekuasaan. Dengan kenyataan akan pelepasan total ini penguasa mempunyai kedudukan diatas dan mengatasi semua tatanan politik. Implikasi dari pemikiran ini menjadi dasar bagi doktrin absolutisme murni.

(Di kutip dari buku : Filsafat Politik antara Barat dan Islam, buah karya dari Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad(2010) cetakan ke-1. )
Menurut Bodin, manusia sendirilah yang menciptakan peristiwa-peristiwanya. Oleh karena itu ia sendiri pula lah yang menciptakan sejarahnya dengan pengaruh cuaca seperti hujan, angin, topografi, dan mengikuti jaln kejadian-kejadian sejarah. Oleh karena itu Bodin menarik kesimpulan bahwa lingkungan alam mempunyai pengaruh pada manusia dan sejarahnya, serta arah politiknya yang juga merupakan bagian sejarah.
Tidak ada madzhab jelas yang membantunya dalam menyusun materi-materi sejarahnya. Karya-karyanya sendiri membutuhkan anotasi dan syarah, terutama tentang contoh-contoh peristiwa sejarah, yang menawarkan perincian terhadap pembaca. Kelebihan karya Bodin semakin tampak ketika ia membebaskan konsep kekuasaan yang memiliki kedaulatan dari benteng-benteng ketuhanan. Karya itu dipandang sebagai pembelaan terhadap politik dan pemerintahan monarki melawan partai-partai politik. Inti pikiran para pakar politik dan beberapa tokoh yang menulis bahwa kekuasaan kerajaan berkisar tentang asas pemersatu. Oleh karena itu, mereka mencurahkan segenap pemikirannya untuk menjadikan kerajaan sebagai pemersatu warga negara, diatas madzhab-madzhab agama dan pertai-partai politik. Ciri terpenting dari madzhab politik kelompok ini adalah gagasan toleransi agama, yakni mewujudkan toleransi terhadap  agama-agama yang ada dalam satu negara. Jika tujuan mereka adalah memelihara ikatan nasionalisme Perancis, karya Bodin diatas bertujuan menetapkan dasar-dasar kesatuan yang wajib dianut oleh suatu negara.


III. CRITICAL REVIEW
Terdapat beberapa critical review mengenai pembahasan materi filsafat politik di era transisi : pemikiran politik jaman pertengahan, Machiavelli, negara yang berdaulat, Marthin Luther, Jean Bodin.
A. Pemikiran Politik Jaman Pertengahan
Pada jaman ini terdapat pendapat bahwa agama menempati kedudukan penting dalam kehidupan humanis Kristen, ia tidak lagi menjadi faktor yang menyeluruh dan penting sebagaimana selama abad pertengahan. Dan bagi beberapa humanis pangan, Tuhan sepenuhnya digantikan oleh manusia sebagai sumber kekuasaan, karena manusia yang tunduk pada otoritas yang tidak dia ciptakan berarti merendahkan derajatnya sebagai makhluk rasional.
Jika pendapat Tuhan sepenuhnya digantikan oleh manusia sebagai sumber kekuasaan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan dalam mengendarai kekuasaan. Sebab tidak ada lagi yang ditakuti dan tidak ada lagi yang membatasi apapun perilaku yang diperbuat, termasuk doktrin menghalalkan segala cara dalam mendapatkan sesuatu. Selain itu pada jaman ini telah terjadinya perpecaha yang ditandai dengan adanya perang antar suku dan etnis.
B. Machiavelli
Cara pandang Machiavelli yang sangat amoral yang kami kritisi, yaitu tidak menempatkan nilai-nilai agama dalam setiap pemikirannya, cara-cara yang sangat tidak pantas yang dilakukan oleh Machiavelli untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan juga sangat bertentangan dengan etika dan norma baik itu norma agama maupun norma-norma lainnya.

C. Negara Yang Berdaulat
Selama zama pertengahan tidak terdapat konsepsi yang jelas tentang negara sebagai lembaga bedaulat yang menjalankan kekuasaan tertinggi dengan batas-batasnya sendiri dan mempunyai kemerdekaan penuh dari entitas politik lain yang ada diluar batas-batas teritorinya.

D. Marthin Luther
Dari pemikiran Marthin Luther yang kami kritisi yaitu ia memunculkan gerakan reformis protestan yang mengakibatkan terjadinya krisis-krisis ekonomi di kawasan imperium Roma, adanya penarikan pajak-pajak yang sangat memberatkan sebagian kalangan yaitu kalangan bawah seperti petani dan pekerja sehingga munculah ketimpangan ekonomi.

E. Jean Bodin
Kelebihan karya Bodin semakin tampak ketika ia membebaskan konsep kekuasaan yang memiliki kedaulatan dari benteng-benteng ketuhanan. Karya itu dipandang sebagai pembelaan terhadap politik dan pemerintahan monarki melawan partai-partai politik. Inti pikiran para pakar politik dan beberapa tokoh yang menulis bahwa kekuasaan kerajaan berkisar tentang asas pemersatu. Oleh karena itu, mereka mencurahkan segenap pemikirannya untuk menjadikan kerajaan sebagai pemersatu warga negara, diatas madzhab-madzhab agama dan pertai-partai politik.




IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan critical review diatas yaitu bahwa pemikiran politik di era transisi di dalamnya terdapat berbagai macam pemikiran-pemikiran yang memberikan pengaruh bagi kehidupan manusia, seperti bahwa zaman pencerahan (Renaissans) sangat memberikan pengaruh yang dapat dirasakan yaitu memberikan cara baru dalam memahami arti kehidupan dan alam semesta. Machiavelli dengan anggapan bahwa nilai-nilai keagamaan, moralitas adalah hal yang harus dipisahkan dari unsur-unsur politik kenegaraan. Lalu, pemikiran Martin Luther yang  berusaha menunjukan bahwa baik pendeta maupun orang awam sebagai individu tunduk pada yuridiksi penuh negara dalam semua masalah yang tidak hanya terbatas pada masalah agama dan spiritual. Serta pemikiran Jean Bodin dalam  teori kedaulatan modernnya.
















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu’ti, Ali. 2010. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia.
Schmandt, J Henry. 2009. Filsafat Politik (Kajian Historis dari Zaman Kuno sampai Zaman Modern). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.