A.Pengertian
Etika
·
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani
adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom).
Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah
dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti
juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang
baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral
lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat
perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan,
sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
·
Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan
buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
·
Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
a. Susila (Sanskerta), lebih
menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik
(su).
b. Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti
ilmu akhlak.
c. Filsuf Aristoteles, dalam
bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai
berikut:
1) Terminius Techicus,
Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan
yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
2) Manner dan Custom, Membahas
etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam
kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik
dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
·
Menurut Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai
pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
·
Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika
adalah teori tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk,
sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
·
Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika
adalah teori tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk,
sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
·
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: etika adalah nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
·
Etika terbagi atas dua :
a. Etika umum ialah etika yang
membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia itu bertindak secara
etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak
dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.
b. Etika khusus ialah penerapan
moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau
profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi
(wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).
B.Pengertian
Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja
atau kantor; dan kata “kratia” (cratein)
yang berarti pemerintah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi
didefinisikan sebagai : 1.Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai
pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
2.Cara
bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan
(adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Berikut
ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:
1) Farel
Heady (1989)
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki
karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi.
Hierarkhi bekaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas
dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah
perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai
tujuan. Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat
hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang
birokrat bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan wewenangnya,
melainkan orang yang sangat profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
tersebut.
2)Hegel
Birokrasi
adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam struktur
sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan
kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam
masyarakat. Hegel melihat, bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk
menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam
saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat
strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara
(pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.
3) Karl
Marx
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik
dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk
mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi
untuk mempertahankan privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis.
Dalam pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang
diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the
have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.
Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap
rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang
sebenarnya hanya menjadi alat saja.
4) Yahya Muhaimin
Birokrasi
adalah keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas
membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima gaji dari
pemerintah karena statusnya itu.
5) Almond and Powell (1966)
The
Governmental Bureaucracy is a group of formally organized offices and duties,
lnked in a complex grading subordinates to the formal roler maker (Birokrasi
Pemerintahan adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara
formal berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran
formal)
Dari
berbagai pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa Birokrasi sesungguhnya
dapat dipahami dan diberi pengertian sebagai suatu sistem kerja yang berlaku
dalam organisasi yang mengatur interaksi sosial baik ke dalam maupun keluar.
Secara spesifik birokrasi publik (pemerintahan) dapat dimaknai sebagai
institusi atau agen pemerintahan yang dilengkapi dengan otoritas sistematik dan
rasional dengan aturan-aturan yang lugas (a system of authority relations
defined by rationally developed rule) (Chandler and Plano, 1982 dalam Hariyoso,
2002).
C.Etika
Birokrasi dalam Pemerintahan
Etika merupakan kesediaan jiwa akan kesusilaan atau
kumpulan dari peraturan kesusilaan. Etika merupakan norma dan aturan yang turut
mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai
dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakan
bermoral. Sesuai dengan moralitas dan perilaku masyarakat setempat. Etika
sendiri dibagi lagi ke dalam etika umum dan etika khusus. Etika umum
mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan
manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan
dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara
etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu,
terutama terhadap dirinya sendiri dan, melalui suara hati, terhadap Illahi, dan
etika sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir
semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan
makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang
sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan
sikap dan tindakan antarmanusia. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus
mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Di sini termasuk misalnya
kewajiban-kewajiban di sekitar permulaan kehidupan, masalah pengguguran isi
kandungan dan etika seksual, tetapi juga norma-norma moral yang berlaku dalam
hubungan dengan satuan-satuan kemasyarakatan yang berlembaga seperti etika
keluarga, etika pelbagai profesi, dan etika pendidikan. Dan di sini termasuk
juga etika politik atau filsafat moral mengenai dimensi politis kehidupan
manusia.
Dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat
sebagai keseluruhan. Ciri khasnya adalah bahwa pendekatan itu terjadi dalam
kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Dimensi
di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan
yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh
tindak-tanduknya.
Ada dua cara untuk menata masyarakat yaitu penataan
masyarakat yang normatif dan yang efektif. Lembaga penata normatif masyarakat
adalah hukum. Hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat
bagaimana mereka bertindak. Hukum terdiri dari norma-norma bagi kelakuan yang betul
dan salah dalam masyarakat. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak efektif.
Artinya, hukum sendiri tidak dapat menjamin agar orang memang taat kepada
normanya. Yang dapat secara efektif menentukan kelakuan masyarakat hanyalah
lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya. Lembaga itu
adalah negara. Penataan efektif masayarakat adalah penataan yang de facto,
dalam kenyataan, menentukan kelakuan masyarakat.
Dengan demikian hukum dan kekuasaan adalah bahasan
dari etika politik. Dalam hal ini lebih
difokuskan pada etika birokrasi sebagai bagian dari etika politik. Etika
birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam fungsi
pokok pemerintahan: fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi
pemberdayaan masyarakat. Etika penting dalam birokrasi. Pertama, masalah yang
ada dalam birokrasi semakin lama semakin komplek. Kedua, keberhasilan
pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam
lingkungan birokrasi. Birokrasi melakukan adjusment (penyesuaian) yang menuntut
discretionary power (kekuatan pertimbangan/kebijaksanaan) yang besar.
Pemerintah
memiliki pola prilaku yang wajib dijadikan sebagai pedoman atau kode etik
berlaku bagi setiap aparaturnya. Etika dalam birokrasi harus ditimbulkan dengan
berlandaskan pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam
masyarakat harus dipedomani serta diwujudkan oleh setiap aparat dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika
yang perlu dijadikan pedoman dan perlu dipraktekkan secara operasional antara
lain:
1. Aparat
wajib mengabdi kepada kepentingan umum
2. Aparat
adalah motor penggerak “head“ dan “heart“
bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
3. Aparat
harus berdiri di tengah-tengah, bersikap terbuka dan tidak memihak (mediator)
4. Aparat
harus jujur, bersih dan berwibawa
5. Aparat
harus bersifat diskresif, bisa membedakan mana yang rahasia dan tidak rahasia,
mana yang penting dan tidak penting
6. Aparat
harus selalu bijaksana dan sebagai pengayom.
Berbagai sifat psikis, kepribadian (jatidiri), harga
dirii, kejujuran yang diisyaratkan oleh teori sifat pada hakikatnya merupakan
kode etik bagi siapapun yang akan bertugas sebagai aparat. Aparat seyogyianya
tidak bekerja terkotak-kotak, menganggap dialah yang penting atau menentukan,
seharusnya aparatur bekerja secara menyeluruh. Oleh sebab itu tidak hanya
mementingkan bidangnya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu dipandang penting pula
koordinasi, sinkronisasi, integrasi. Sehingga dapat berbuat dan bertindak
sesuai dengan tingkah laku dan perilaku aparatur yang terpuji.
Etika terbentuk
dari aturan pertimbangan yang tinggi. Yaitu benar vs tidak benar dan pantas vs
tidak pantas. Prilaku dan tindakan aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi
dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk
itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang etika biasanya
tidak tertulis dan sanksinya berupa sanksi sosial yang situasional dan
kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut. Maka dituntut
adanya payung hukum.
Peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan
etika birokrasi. Peraturan ini tertuang dalam Kode Etik Pegawai Negeri. Akan
tetapi kode etik ini belum kentara hasil dan fungsinya. Namun, dengan kode etik
ini mengupayakan aparat birokrasi yang lebih jujur, bertanggung jawab,
disiplin, rajin, memiliki moral yang baik, tidak melakukan perbuatan tercela
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, perlu usaha dan latihan
serta penegakan sanksi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode
etik atau aturan yang ditetapkan.
Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh birokrasi, antara
lain :
1. Ikut
serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan
pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan.
2. Menerima
segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melakukan transaksi untuk
kepentingan dinas.
3. Membicarakan
masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas
sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocorkan
informasi komersial/ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang
tidak berhak.
5. Terlalu
erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam
menjalankan bisnis pokoknya tergantung izin pemerintah.
Selain
itu, ada beberapa upaya untuk membenahi praktek-praktek birokrasi yang kurang
menyenangkan, antara lain:
1. Pembenahan
suatu institusi yang telah berpraktek dalam jangka waktu lama tidaklah gampang.
Waktu yang cukup lama mutlak diperlukan. Yang cukup penting dimiliki adalah
perilaku adaptif dari birokrasi terhadap perkembangan yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat, sehingga mampu membaca tuntutan dan harapan yang
dibebankan ke pundaknya. Suatu komuniti yang semakin kompleks dan rumit
memerlukan bentuk-bentuk praktek birokrasi yang luwes dan praktis. Pemotongan
jalur-jalur hirarkis, merupakan salah satu keinginan dari konsumen birokrasi.
2. Selaras
dengan pemikiran Weber yang menempatkan birokrasi dan birokrasi dapat
bergandengan tangan. Menuntut birokrasi sebagai institusi yang terbuka dan
mampu untuk dipahami sesuai fungsinya. Kebijaksanaan dan suasana demokratisasi
sangat diperlukan, yakni memberi hak yang lebih luas bagi masyarakat untuk ikut
serta dalam proses pemerintahan.
3. Selaras
dengan akumulasi keinginan pemotongan jalur-jalur hirarkis. Kebijaksanaan-kebijaksanaan
menyangkut desentralisasi juga diperlukan.
4. Faktor
mental personal dari aparatur birokrasi dan perilaku dari birokrat itu sendiri.
Dituntut adanya keberanian moral untuk menyingkirkan pandangan bahwa birokrasi
adalah bureaucratic polity, serta menempatkan prinsip-prinsip de-etatisme dan
de-kontrolisasi pada proposisinya.
Birokrasi hendaklah merupakan rangkaian kegiatan
sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi
didistribusikan melalui cara-cara yang telah ditentukan dan dianggap sebagai
tugas resmi. Diorganisasikan dalam suatu kantor yang mengikuti prinsip
hirarkis. Pelaksanaan tugasnya diatur oleh suatu sistem peraturan
perundang-undangan yang abstrak dan mencakup juga penerapan aturan-aturan di
dalam kasus-kasus tertentu. Dilaksanakan oleh pejabat yang ideal melaksanakan
tugas-tugasnya dengan semangat formal dan bersifat pribadi, tanpa perasaan
dendam atau nafsu. Pekerjaan birokratis didasarkan pada klasifikasi teknis dan
dilindungi dari kemungkinan pemecatan sepihak. Berdasarkan pengalaman universal
bahwa tipe organisasi administratif yang murni dilihat semata-mata dari sudut
teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
Birokrasi
sebagai bagian law enforcement perlu direformasi dengan dimensi keadilan. Hal
yang diperlukan adalah: menuntaskan “national building“, memaksimalkan fungsi
lembaga-lembaga, membangun aturan hukum secara komprehensif serta membangun
moralitas aparat penegak hukum.
D. Darimana
Etika Birokrasi Dibentuk
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari
kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan,
norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas
tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap
dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan
fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi
itu sendiri. Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk
dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin
birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat
Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka
lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran
aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan
Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya
berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut
birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan
untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau
pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam
masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung
diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi
tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia
berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang
dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi
dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut
Drs. Haryanto, MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk
menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara
formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan
moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh
lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’
dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di
Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan
lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang
tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi
disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu
diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya
serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari
Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu
diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak
ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt,
seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan
masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena
masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu
rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat
birokrasi mudah tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang
belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu
adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama
untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang
tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran
Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya
“Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,6 tentang
tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang
juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
1.
Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk
keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
2.
Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan
transaksi untuk kepentinagn dinas.
3.
Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam
tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4.
Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada
pihak-pihak yang tidak berhak.
5.
Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam
menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan
demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan
tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya,
apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu
aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak
tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional
tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk
itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada
ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen
merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Alasan
Pentingnya Etika Dalam Birokrasi
Ketika
kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul
kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur
Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan
dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak
bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang
dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan
tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu
diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting
diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan
akuntabel, menurut Agus Dwiyanto bahwa Masalah-masalah yang dihadapi oleh
birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas
masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah-masalah
publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi
pemerintah.
Dalam
memecahkan masalah yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada
pilihan-pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi
seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang
masing-masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang
dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkali bersifat dikotomis dan
dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan
memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah-masalah yang ada dalam “grey
area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan
meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa
fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat
birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua,
keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan
dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya
menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap
terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa
melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan
kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi
memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang
dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan
masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan
implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan
etika birokrasi.
Walaupun
pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun
belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga
peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti
terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah
satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka.
Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para
sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan
perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit
gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus
sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan
tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin
komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi
pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh
masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku
agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang
perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di
tengah-tengah masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar