Sabtu, 15 Februari 2014

Etika Birokrasi

A.Pengertian Etika
·         Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
·         Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
·         Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
a.      Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
b.       Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
c.       Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
1)      Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
2)      Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
·         Menurut Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
·         Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
·         Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
·         Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
·         Etika terbagi atas dua :
a.      Etika umum ialah etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia itu bertindak secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.
b.      Etika khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi (wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).
B.Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor;  dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai : 1.Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
2.Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:
1) Farel Heady (1989)
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan. Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang birokrat bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan wewenangnya, melainkan orang yang sangat profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.
2)Hegel
            Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat. Hegel melihat, bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.
3) Karl Marx
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Dalam pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat saja.
4)  Yahya Muhaimin
Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
5)  Almond and Powell (1966)
The Governmental Bureaucracy is a group of formally organized offices and duties, lnked in a complex grading subordinates to the formal roler maker (Birokrasi Pemerintahan adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal)
Dari berbagai pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa Birokrasi sesungguhnya dapat dipahami dan diberi pengertian sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam organisasi yang mengatur interaksi sosial baik ke dalam maupun keluar. Secara spesifik birokrasi publik (pemerintahan) dapat dimaknai sebagai institusi atau agen pemerintahan yang dilengkapi dengan otoritas sistematik dan rasional dengan aturan-aturan yang lugas (a system of authority relations defined by rationally developed rule) (Chandler and Plano, 1982 dalam Hariyoso, 2002).
C.Etika Birokrasi dalam Pemerintahan
Etika merupakan kesediaan jiwa akan kesusilaan atau kumpulan dari peraturan kesusilaan. Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakan bermoral. Sesuai dengan moralitas dan perilaku masyarakat setempat. Etika sendiri dibagi lagi ke dalam etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri dan, melalui suara hati, terhadap Illahi, dan etika sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Di sini termasuk misalnya kewajiban-kewajiban di sekitar permulaan kehidupan, masalah pengguguran isi kandungan dan etika seksual, tetapi juga norma-norma moral yang berlaku dalam hubungan dengan satuan-satuan kemasyarakatan yang berlembaga seperti etika keluarga, etika pelbagai profesi, dan etika pendidikan. Dan di sini termasuk juga etika politik atau filsafat moral mengenai dimensi politis kehidupan manusia.
Dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Ciri khasnya adalah bahwa pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Dimensi di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak-tanduknya.
Ada dua cara untuk menata masyarakat yaitu penataan masyarakat yang normatif dan yang efektif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka bertindak. Hukum terdiri dari norma-norma bagi kelakuan yang betul dan salah dalam masyarakat. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak efektif. Artinya, hukum sendiri tidak dapat menjamin agar orang memang taat kepada normanya. Yang dapat secara efektif menentukan kelakuan masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya. Lembaga itu adalah negara. Penataan efektif masayarakat adalah penataan yang de facto, dalam kenyataan, menentukan kelakuan masyarakat.
Dengan demikian hukum dan kekuasaan adalah bahasan dari etika politik.  Dalam hal ini lebih difokuskan pada etika birokrasi sebagai bagian dari etika politik. Etika birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam fungsi pokok pemerintahan: fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Etika penting dalam birokrasi. Pertama, masalah yang ada dalam birokrasi semakin lama semakin komplek. Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Birokrasi melakukan adjusment (penyesuaian) yang menuntut discretionary power (kekuatan pertimbangan/kebijaksanaan) yang besar.
 Pemerintah memiliki pola prilaku yang wajib dijadikan sebagai pedoman atau kode etik berlaku bagi setiap aparaturnya. Etika dalam birokrasi harus ditimbulkan dengan berlandaskan pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam masyarakat harus dipedomani serta diwujudkan oleh setiap aparat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika yang perlu dijadikan pedoman dan perlu dipraktekkan secara operasional antara lain:
1. Aparat wajib mengabdi kepada kepentingan umum
2. Aparat adalah motor penggerak “head“ dan “heart“  bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
3. Aparat harus berdiri di tengah-tengah, bersikap terbuka dan tidak memihak (mediator)
4. Aparat harus jujur, bersih dan berwibawa
5. Aparat harus bersifat diskresif, bisa membedakan mana yang rahasia dan tidak rahasia, mana yang penting dan tidak penting
6. Aparat harus selalu bijaksana dan sebagai pengayom.
Berbagai sifat psikis, kepribadian (jatidiri), harga dirii, kejujuran yang diisyaratkan oleh teori sifat pada hakikatnya merupakan kode etik bagi siapapun yang akan bertugas sebagai aparat. Aparat seyogyianya tidak bekerja terkotak-kotak, menganggap dialah yang penting atau menentukan, seharusnya aparatur bekerja secara menyeluruh. Oleh sebab itu tidak hanya mementingkan bidangnya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu dipandang penting pula koordinasi, sinkronisasi, integrasi. Sehingga dapat berbuat dan bertindak sesuai dengan tingkah laku dan perilaku aparatur yang terpuji.
 Etika terbentuk dari aturan pertimbangan yang tinggi. Yaitu benar vs tidak benar dan pantas vs tidak pantas. Prilaku dan tindakan aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang etika biasanya tidak tertulis dan sanksinya berupa sanksi sosial yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut. Maka dituntut adanya payung hukum.
Peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan etika birokrasi. Peraturan ini tertuang dalam Kode Etik Pegawai Negeri. Akan tetapi kode etik ini belum kentara hasil dan fungsinya. Namun, dengan kode etik ini mengupayakan aparat birokrasi yang lebih jujur, bertanggung jawab, disiplin, rajin, memiliki moral yang baik, tidak melakukan perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, perlu usaha dan latihan serta penegakan sanksi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode etik atau aturan yang ditetapkan.

Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh birokrasi, antara lain :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan.
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melakukan transaksi untuk kepentingan dinas.
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocorkan informasi komersial/ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung izin pemerintah.
Selain itu, ada beberapa upaya untuk membenahi praktek-praktek birokrasi yang kurang menyenangkan, antara lain:
1. Pembenahan suatu institusi yang telah berpraktek dalam jangka waktu lama tidaklah gampang. Waktu yang cukup lama mutlak diperlukan. Yang cukup penting dimiliki adalah perilaku adaptif dari birokrasi terhadap perkembangan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga mampu membaca tuntutan dan harapan yang dibebankan ke pundaknya. Suatu komuniti yang semakin kompleks dan rumit memerlukan bentuk-bentuk praktek birokrasi yang luwes dan praktis. Pemotongan jalur-jalur hirarkis, merupakan salah satu keinginan dari konsumen birokrasi.
2. Selaras dengan pemikiran Weber yang menempatkan birokrasi dan birokrasi dapat bergandengan tangan. Menuntut birokrasi sebagai institusi yang terbuka dan mampu untuk dipahami sesuai fungsinya. Kebijaksanaan dan suasana demokratisasi sangat diperlukan, yakni memberi hak yang lebih luas bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan.
3. Selaras dengan akumulasi keinginan pemotongan jalur-jalur hirarkis. Kebijaksanaan-kebijaksanaan menyangkut desentralisasi juga diperlukan.
4. Faktor mental personal dari aparatur birokrasi dan perilaku dari birokrat itu sendiri. Dituntut adanya keberanian moral untuk menyingkirkan pandangan bahwa birokrasi adalah bureaucratic polity, serta menempatkan prinsip-prinsip de-etatisme dan de-kontrolisasi pada proposisinya.
Birokrasi hendaklah merupakan rangkaian kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi didistribusikan melalui cara-cara yang telah ditentukan dan dianggap sebagai tugas resmi. Diorganisasikan dalam suatu kantor yang mengikuti prinsip hirarkis. Pelaksanaan tugasnya diatur oleh suatu sistem peraturan perundang-undangan yang abstrak dan mencakup juga penerapan aturan-aturan di dalam kasus-kasus tertentu. Dilaksanakan oleh pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat formal dan bersifat pribadi, tanpa perasaan dendam atau nafsu. Pekerjaan birokratis didasarkan pada klasifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan sepihak. Berdasarkan pengalaman universal bahwa tipe organisasi administratif yang murni dilihat semata-mata dari sudut teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
 Birokrasi sebagai bagian law enforcement perlu direformasi dengan dimensi keadilan. Hal yang diperlukan adalah: menuntaskan “national building“, memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga, membangun aturan hukum secara komprehensif serta membangun moralitas aparat penegak hukum.
D. Darimana Etika Birokrasi Dibentuk
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri. Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs. Haryanto, MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudah tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,6 tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi
            Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto bahwa Masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah-masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah.
Dalam memecahkan masalah yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan-pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing-masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah-masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar