BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Filsafat islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradaban Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahaan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahaan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat ynag menjadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.
Berbagai tema yang menjadi bahan kajian dalam filsafat politik islam adalah mengambil kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan yang lainnya yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Akan tetapi sesungguhnya filsafat islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
A. Bagaimana Negara Islam di Madinah ?
B. Bagaimana Pemerintahan Tuhan (Teokrasi) ?
C. Bagaimana Sistem Musyawarah ?
D. Bagaimana Demokrasi dalam Islam ?
E. Bagaimana Interaksi dalam Islam ?
F. Bagimana Kedudukan Wanita dalam Islam ?
G. Bagaimana Peperangan dan Perdamaian dalam pandangan Filsafat Politik Islam ?
1.3. Maksud dan Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut :
A. Menjelaskan Negara Islam di Madinah
B. Menjelaskan Pemerintahan Tuhan (Teokrasi)
C. Menjelaskan Sistem Musyawarah
D. Menjelaskan Demokrasi dalam Islam
E. Menjelaskan Interaksi dalam Islam
F. Menjelaskan Kedudukan Wanita dalam Islam
G. Menjelaskan Peperangan dan Perdamaian dalam pandangan Filsafat Politik Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Negara Islam di Madinah
Awal pertumbuhan Negara Islam muncul pertama kalinya di Madinah. Masyarakat Islam saat itu memiliki iklim yang memungkinkan berdirinya Negara. Mereka pun memiliki kekuasaan pemerintahan yang mengatur urusan-urusannya.
Masyarakat politik, yakni masyarakat Islam di Madinah, mulai eksis dan memainkan peranannya serta beralih dari prinsip-prinsip teoritis ke prinsip-prinsip praktis setelah berada di madinah. Hal itu terjadi setelah di sana terkumpul unsur-unsur baru dan tercapainya kebebasan serta kedaulatan yang sempurna. Ini tentu saja memungkinkannya untuk meletakkan prinsip-prinsip pokok bagi perundang-undangan Islam. Di sana, tidak ada fungsi pemerintah, kecuali di dalamnya berdiri asas-asas dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.
Pemerintah Islam telah berdiri di Madinah dengan fungsinya sebagai sebuah organisasi pertahanan, mempersiapkan mekanisme untuk melaksanakan keadilan di antara manusia, menyebarkan ilmu, menghidupkan sektor ekonomi, mengikat perjanjian, dan melakukan berbagai kerja sama. Nabi Muhammad SAW. (w. 10 H/632 M) adalah kepala Negara ini, dan pada waktu yang bersamaan, ia adalah nabi, manusia biasa, dan utusan Allah.
Negara Islam berdiri di Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. selama 10 tahun. Selama jangka waktu itu, ia telah menetapkan dasar-dasar dan pilar-pilar bagi Negara Islam yang besar, melahirkan spirit bagi kehidupan politik, dan menggariskan model-model keteladanan dan analogi. Dengan demikian, fase kenabian dalam perspektif sejarah Islam adalah periode pendirian Negara.
Para pengganti selanjutnya, Khulafa’ Ar-Rasyidin, memimpin Negara di bawah petunjuk dan prinsip-prinsip Nabi. Akhirnya, wilayah kekuasaan semakin berkembang dan luas. Setelah kepemimpinan berada di tangan para khalifah bani Anawiyah dan bani Abbasiyah, mereka mulai meninggalkan prinsip-prinsip ini sedikit demi sedikit, sehingga pada akhirnya pemerintahan Abbasiyah tidak tersisa prinsip-prinsip Islam, kecuali sebagian kecil aspek saja.
Demikianlah, melalui benteng Negara dan di bawah benderanya, Islam menyatukan kabilah-kabilah Arab, menanamkan kelembutan di hati mereka, dan menghilangkan fanatisme Jahiliyah sehingga rasa dendam yang mereka pendam menjadi hilang. Semuanya tunduk pada ketetapan Nabi dan perintah-perintah dalam Al-Quran setelah sebelumnya mereka tunduk kepada pemimpin yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, di Negara-negara Arab berdiri pemerintahan pusat yang dihormati. Antusias orang Arab terhadap Islam dan para pemimpinnya tidak jauh berbeda dengan antusias dan kepahlawanannya terhadap berhala sebelum mereka memeluk Islam.
Jelasnya, sesungguhnya Islam telah mengubah moral orang Arab dan membantu menyebarkan keutamaan di antara mereka sehingga bermunculan orang yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Di samping itu, Islam telah menyatukan kabilah-kabilah yang berbeda-beda dan saling bertempur dalam satu Negara kebangsaan yang berasaskan agama Islam. Lebih dari itu, Islam kemudian menjadi sistem politik sekaligus sistem agama.
• Critical Review
Berbeda dengan era transisi, era kontrak sosial, dan era kontemporer yang melatar belakangi timbulnya Negara karena rasa ketidakamanan, kesetaraan, menentang penguasa ataupun karena ada kontrak sosial dalam lingkungan masyarakat, Negara Islam di Madinah terbentuk melalui dua fase. Yaitu fase pendahuluan dan persiapan bagi fase berikutnya yang datang setelah hijrah. Pada fase pertama sudah ditemukan benih-benih masyarakat islam dan sudah ditetapkan pula pokok-pokok kaidah islam secara umum. Pada fase kedua, formasi masyarakat islam sudah sempurna dan kaidah-kaidah islam telah mendapat perincian. Lalu, munculah gerakan islam dalam format barunya yang berimplikasi pada keberadaan masyarakat yang diorganisasikan di atas kaidah-kaidah politik dan di bawah satu pimpinan
B. Pemerintahan Tuhan (Teokrasi)
Allah adalah penguasa yang hakiki bagi alam semesta ini. Aturan-aturannya adalah yang tinggi dan abadi. Dalam Al-Quran, alam tak lebih dari kerajaan yang dikendalikan penguasa tunggal, yaitu Allah SWT.
Selama Allah adalah satu-satunya yang memiliki kerajaan, yang memerintah, yang melarang, yang memberi, yang memuliakan, dan yang menghinakan, Dia adalah penguasa yang hakiki dan kekal bagi seluruh alam.
Dengan demikian, Allah adalah penguasa tunggal. Hukum ketuhanan-Nya adalah sumber segala bentuk perundang-undangan dan hukum. Harun Khan Shewarni mengatakan bahwa karena kapasitasnya sebagai penguasa alam semesta, Allah adalah satu-satunya pemilik kekuasaan legislatif yang karenanya kekuasaannya itu menjadi sumber segala produk hukum, baik itu hukum positif atau hukum alam. Karena Allah-melalui hukum-Nya yang abadi-selamanya bertujuan mewujudkan keadilan, keadilan ini mesti selalu menjadi tujuan pula bagi setiap produk hukum dengan bersandar pada hukum-Nya itu.
Negara Islam sudah berdiri pada masa Rasulullah. Ia menangani urusan-urusan penting Negara. Ia pun menangani urusan-urusan pengadilan, militer, dan administrasi. Itu adalah otoritas atau mandat yang diberikan Tuhan kepadanya.
Sesungguhnya Allah telah memiliih Muhammad dan menurunkan Al-Qur’an kepadanya sebagai penjelas tentang cara menyelesaikan persoalan dengan apa yang telah Allah tetapkan, baik berupa perintah atau larangan. Dengan demikian, Nabi tidak menyelesaikan persoalan berdasarkan pemikiran atau ketetapannya sendiri, tetapi berdasarkan ketetapan dan hukum Tuhan.
Allah telah memilih Muhammad untuk menjadi khalifah di muka bumi dan hakim yang memutuskan perkara di antara manusia dengan adil. Ini artinya bahwa ia memutuskan persoalan pengadilan hanya mengikuti apa yang telah Allah turunkan kepada-Nya, yakni berupa ayat-ayat Al-Qur’an.
Disamping menangani langsung urusan-urusan pengadilan, Nabi pun menangani langsung urusan perdamaian dan peperangan. Kita pun harus menyimpulkan bahwa semua itu karena Nabi memperoleh otoritas dari Tuhan. Selain menangani urusan fasilitas Negara, Nabi pun menangani urusan pemasukan Negara dari berbagai sektor, menentukan para pejabatnya, dan membagikannya kepada yang berhak memerimanya.
Demikianlah, Nabi menghimpun sifat kenabian, kerasulan yang karenanya beliau berkewajiban menyampaikan risalah kepada segenap manusia dan kepemimpinan Negara yang karenanya ia merumuskan hukum dan sistem yang bersandar kepada penguasa alam semesta ini, Allah.
• Critical Review:
Apabila membandingkan konsep pemerintahan barat dengan islam, disini sangat jelas sekali bahwa pemerintahan Tuhan lah yang lebih absolut. Karena jelas sekali bahwa Allah langsung menurunkan perintah kepada Nabi Muhammad untuk menjadi khalifah di muka bumi, dan membuat pemerintahan berdasarkan petunjuk yang diberikan Allah SWT dalam kitab Al-Qur’an. Segala bentuk keputusan yang dibuat adalah atas dasar ketetapan dari Allah SWT, bukan berdasarkan hasil buatan dari manusia. Dengan demikian apabila melihat pada pemerintahan barat yang semua konsepnya itu dibuat oleh manusia itu sendiri, jelas sifatnya tidak absolut, karena bisa saja keputusan yang dibuat itu tidak berdasarkan pada kondisi sekitar, hanya untuk kalangan tertentu saja. Dan tidak sedikit orang yang ada pada pemerintahan yang berkonsep barat, melakukan pembangkangan kepada pemerintahannya, karena dirasa tidak mementingkan kepentingan orang banyak. Maka dari itu tetap konsep pemerintahan Tuhan lah (Teokrasi) yang menjadi pedoman manusia dalam membentuk suatu pemerintahan, karena segala ketetapan dari Allah SWT mempunyai sifat yang kekal dan abadi, dan tidak ada seorang manusia pun yang bisa membantah perintah tersebut, karena itu adalah Hukum Tuhan.
C. Sistem Musyawarah
Meskipun Al-Qur’an mencakup segala persoalan dan Rasulullah memutuskan perkara dengan Al-Qur’an, tetapi Islam tidak menutup rapat-rapat pintu ijtihad. Berkaitan dengan ini, kita harus membedakan dua hal berikut :
1. Masalah-masalah tauqifiyyah, yakni masalah yang berkaitan dengan urusan agama, akidah, dan ibadah. Untuk masalah yang ini, Islam tidak memberikan ruang bagi musyawarah dan pendapat. Untuk masalah yang ini pun, Nabi hanya sebatas menyampaikan. Kita pun semestinya hanya sebatas menaati dan melaksanakan.
2. Masalah-masalah taufiqiyyah, yakni masalah yang berkaitan dengan urusan keduniaan, hukum, keseharian, dan yang bertalian dengan konteks temporal. Untuk masalah yang satu ini, manusia diberi ruang untuk bermusyawarah dan berpendapat.
Artinya, musyawarah adalah sistem, yang diperkenalkan Negara Islam. Rasulullah SAW. diperintahkan bermusyawarah dengan para sahabat dalam masalah perang untuk menemukan gagasan yang tepat. Sebagiannya lagi mengatakan bahwa Rasulullah SAW. diperintahkan bermusyawarah dengan para sahabat untuk menemukan sesuatu yang bermanfaat. Sebagiannya lagi mengatakan bahwa Rasulullah diperintahkan bermusyawarah dengan para sahabat agar kemudian menjadi tradisi yang diikuti generasi selanjutnya.
Allah menurunkan wahyu berupa gagasan yang benar kepada Rasul sehingga tidak diperlukan lagi musyawarah. Nun, Allah menghendaki supaya prinsip musyawarah ini menjadi prinsip umum bagi sistem politik dan sosial umat. Untuk tujuan itu, Allah menjadikan Rasul sebagai teladan bagi orang-orang yang beriman. Allah memerintahkan Rasul untuk bermusyawarah dalam memecahkan suatu permasalahan.
Critical Review :
Dalam pandangan islam sistem musyawarah sangat diajurkan seperti firman Allah SWT dalam QS Asy-Syura : 38, dalam kandungan ayat tersebut dijelaskan bagaimana kewajiban bermusyawarah terutama masalah keduniaan.
D. Demokrasi dalam Islam
Sistem musyawarah, sebagaimana dijelaskan di atas, sekilas menggambarkan keberadaan demokrasi. Di antara makna demokrasi adalah memberikan ruang apapun kondisinya bagi rakyat untuk berpendapat dan tidak memutuskan sesuatu, kecuali melalui musyawarah. Sebenarnya, demokrasi Islam telah tegak di atas dasar sistem musyawarah ini. Indikasinya Islam mengakui adanya pertanggungjawaban individual, menjadikan hak-hak umum sebagai sesuatu yang sama di antara manusia, dan menguatkan solidaritas antar rakyat meskipun berbeda-beda kelas sosialnya. Demokrasi Islam tegak di atas empat prinsip berikut ini:
1. Pertanggungjawaban Individual
Islam mengakui keberadaan pertanggungjawaban individual dan menegaskannya secara jelas.
Pertama, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas dosa yang dilakukan orang lain.
Kedua, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas dosa bapak atau kakeknya, atau dosa yang terjadi sebelum kelahirannya.
Ketiga, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas dosa yang tidak dilakukannya.
Rasulullah pun menguatkan keberadaan pertanggungjawaban individual ini melalui sabdanya, “Setiap diri kamu pemimpin dan setiap diri kamu mempunyai tanggung jawab dari kepemimpinannya dan seorang laki-laki itu memimpin dalam memimpin keluarganya dan dia yang mempunyai tanggung jawab pada kepemimpinannya. Kalian semua adalah pemimpin. Kalian semua pun akan dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang kalian pimpin. Seorang penguasa adalah pemimpin rakyatnya; seorang suami adalah pemimpina bagi keluarganya. Ia akan bertanggung jawab terhadap mereka. Sedangkan seorang istri adalah pemimpin rumah suami dan anak-anaknya. Ia akan bertanggun jawab terhadap mereka. Seorang hamba adalah penjaga harta tuannya dan dia juga akan bertanggung jawab terhadap jagoannya. Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab terdapa apa yang kamu pimpin.” (Muttafaq ‘allaih).
2. Persamaan Antar manusia
Al-Quran pun menegaskan persamaan antar manusia. Persamaan ini adalah penopang yang paling dominan bagi demokrasi.
Manusia sama di hadapan Allah. Allah tidak melebihkan laki-laki atas perempuan, atau satu bangsa atas bangsa lainnya, atau satu kabilah atas kabilah lainnya, kecuali atas dasar ketakwaannya.
3. Pemerintah dengan Sistem Musyawarah
Pemerintah dengan sistem musyawarah, sebagaimana telah dijelaskan adalah karakteristik pokok bahkan substansi demokrasi. Ini dengan sendirinya berbeda dengan konstitusi monarki atau pemerintah tirani. Berbeda pula dengan konstitusi oligarki atau pemerintah minoritas. Dalam Islam, seorang pemimpin harus bermusyawarah dengan bawahannya untuk menyerap aspirasi. Inilah makna demokrasi yang muncul dari pemerintahan dengan sistem musyawarah.
4. Solidaritas antara Semua Golongan dan Tingkatan
Islam menetapkan bahwa setiap orang mempunyai hak menhindarkan keburukan dari dirinya dan dari orang lain. Inilah dasar-dasar tempat bertopang demokrasi Islam, yaitu pertanggungjawaban individual, persamaan, menolak pembelengguan terhadap akal, dan saling bekerja sama menangkal keburukan.
Critical Review :
Dalam pandangan islam Allah SWT berada pada posisi sentral (Theocentric) dalam segala urusan, menjadi sumber dari semua sumber. Sedangkan mazhab barat yang selalu menempatkan manusia pada posisi sentral (Anthropocentric) bahkan kadang lebih sempit lagi menempatkan bangsa barat dalam posisi sentral (Ethnocentric).
E. Interaksi dalam Masyarakat Islam
Islam mengharamkan pertumpahan darah dan melakukan balas dendam. Islam menyuruh melimpahkan persoalan itu kepada hakim. Hakim lalu memerintahkan kepada para algojo untuk melakukan qisas.
Islam telah meletakkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang mengatur hubungan antara individu dan komunitas muslim, seperti jual-beli. Islam pun menaruh perhatian besar terhadap keluarga. Oleh karena itu, Islam menetapkan aturan tentang nikah dan cerai, serta kewajiban nafkah bagi suami untuk istri, bagi ayah untuk anak atau bagi anak untuk ayah. Islam menamai akad atau ikatan suami istri sebagai perjanjian yang kuat atau ikatan cinta dan kasih sayang.
Islam menetapkan aturan mahar tanpa memberi batasan kuantitasnya dan nafkah yang harus diterima istri atas kewajiban suaminya. Islam melarang untuk menikahi orang musyrik, mengharamkan pernikahan dengan ibu, saudara perempuan, dan orang yang menyerupainya.
Islam memerhatikan dengan serius unsur-unsur kekerabatan dan mendorong untuk memerhatikan keutamaan-keutamaan dan etika yang tinggi, seperti manusia meminta izin sebelum memasuki rumah orang lain.
Critical Review :
Apabila dalam, paham sosialisme komunis Negara sering terlibat (Bold State) pada pengaturan kehidupan masyarakatnya, sedangkan pada paham liberalism kapitalis Negara memberikan kebebasan (No State) termasuk untuk berjudi, melacur, dan memiliki senjata api, maka dalam ideolodi islam, pemerintah Negara melindungi hanya untuk yang baik dan benar (amar ma’ruf) sedangkan untuk yang buruk pemerintah harus mengantisipasinya (Nahi Mungkar).
F. Kedudukan Wanita dalam Islam
Nasib wanita pada abad pertengahan bagi Yunani, Romawi, dan lainnya adalah bagaikan barang atau hewan. Ia tidak memiliki hak apapun dalam kepemilikan dengan cara apapun. Ia tidak mempunyai hak waris sama sekali, juga tidak mempunyai hak memperoleh pelajaran. Adapun Islam telah mewajibkan setiap muslim, baik pria maupun wanita, untuk menuntut ilmu. Islam pun telah mewajibkan kaum mukminat untuk membaca Al-Quran dan menuntut ilmu.
Aisyah bahkan terlibat dalam urusan politik ketika terjadi peristiwa Perang Jamal. Demikian pula, saudara perempuannya yang bernama Asma’ binti Abu Bakar (w. 610 M) dan Umm ‘Abdillah bin Az-Zubair yang terkenal dengan periwatan hadisnya.
Islam menyamakan antara wanita dan pria hampir dalam semua hak. Dalam persoalan pembagian warisan yang dikesani merugikan wanita, ternyata kami menemukan bahwa bagian wanita akan bertambah dengan melihat kenyataan bahwa sebagian besar biaya hidupnya ditanggung pria (suaminya), atau dengan melihat kenyataan bahwa suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya. Lalu, bagaimana mungkin dikesani bahwa Islam merugikan wanita? Padahal, Islam sangat toleran kepada wanita.
Islam membolehkan perceraian jika hak itu dianggap penting dilakukan. Rasulullah SWA bersabda, “Kehalalan yang paling dibenci Allah adalah cerai”. Oleh karena itu, para ulama fiqh mengharamkan talak bagi pasangan suami-istri yang harmonis. Islam memberikan hak menjatuhkan cerai pada pria karena dialah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, biaya rumah tangga, dan pendidikan anak-anaknya. Islam memerintahkan suami untuk menggauli dan memperlakukan istrinya dengan baik.
Islam pun menakut-nakuti pria dengan kerugian agama dan materi ketika memperlakukan istrinya dengan tidak baik. Para penyusun Undang-Undang Eropa sekarang mulai mengadopsi apa yang dahulu mereka tolak dari Islam. Sekarang mereka melegalkan perceraian setelah mereka merasakan sisi positifnya.
Critical Review :
Prinsip pokok dalam ajaran islam adalah persamaan antar manusia baik antar laki-laki, perempuan, maupun antar suku, bangsa dan keturunan. Perbedaan yang perlu digaris bawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ajaran islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
G. Peperangan dan Perdamaian
Islam adalah agama perdamaian dan kasih sayang. Para peneliti bahkan menyatakan bahwa Islam adalah agama toleransi, yang mempermudah, mencintai perdamaian, bukan peperangan. Kehidupan Rasulullah SAW pun memberikan contoh paling baik untuk toleransi, saling memaafkan, kasih sayang, dan perdamaian. Meskipun umatnya terus mendapatkan tekanan dari kaum kafir Quraissy, Rasul tetap mendoakan musuh-musuh Islam dengan penuh kasih sayang, toleransi, dan memaafkan “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak pernah mengetahui”. Bahkan, dalam peperangan, Rasul memohon kepada Allah agar musuh-musuhnya cenderung pada kedamaian.
Critical Review :
Secara filsafat, islam mengizinkan perang kepada ketidakadilan, kezaliman, tetapi islam juga wajib berkasih sayang kepada kebaikan dan kebenaran hal ini dilakukan oleh pemerintah yang islami disebut dengan perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Apabila dalam politik dan hukum sosialisme komunis pemerintah melakukan proteksi secara komprehensif bagi kehidupan masyarakat agar tercipta efektivitas, sedangkan pada politik dan hukum liberalisme kapitalis, pemerintah mengaharapkan welfare (kemakmuran individu) dalam rangka terciptanya responsivitas, maka dalam politik dan hukum islam pemerintah harus menyeimbangkan antara kekuasaan dan pelayanan untuk itulah harus ada kepemimpinan pemerintahan yang islami.
3.2 Saran
• Agar syariat islam dapat ditegakan para pemeluk agama islam sebaiknya memahami isi dari Al-Qur’an secara kontekstual
• Dalam kepemimpinan pemerintahan islam moralitas agama hanya sekedar menolak sekulerisme
DAFTAR PUSTAKA
Ilham Mustofalahyar. 2013. Fenomena Filsafat dan Mantiq Ibn Taimiyyah. Id.m. Wikibooks.org/wiki/filsafat_islam_pasca-ibn_rusyd/filsuf_islam_pasca-ibn_rus/ibn_taimiyyah. Diakses pada hari Minggu 15 Desember 2013 Pukul 11.41 WIB
Kencana, Inu. 2005. Filsafat Politik. Bandung : CV. Mandar Maju.
Muhammad, Ali Abdul Muti. 2010. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar