Tahun
2000-an, penyair Taufik Ismail bersama majalah sastra Horison pernah menggelar
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya atau SBSB di sejumlah sekolah dan kampus di Indonesia.
Aktivitas itu pernah juga dilakukan para sastrawan Sunda tahun 1970-1980-an.
Pada
periode yang juga sangat subur dengan kehidupan kreatif bersastra itu, sejumlah
sastrawan Sunda menggelar apresiasi sastra untuk pelajar di berapa kota di Jawa Barat,
termasuk Banten. Namun, kegiatan itu tidak berlangsung terus-menerus alias
putus karena berbagai permasalahan.
Tahun
2007, niat semacam itu tumbuh dalam organisasi Paguyuban Panglawungan Sastra
Sunda (PPSS). Beberapa waktu lalu, organisasi yang digawangi para sastrawan dan
pemain teater muda ini melakukan uji coba silaturahim sastra dengan beberapa
kepala sekolah dasar di Cicalengka, Bandung.
Hasilnya, PPSS mendapat masukan agar melakukan sosialisasi sastra, termasuk
bahasa Sunda, ke sekolah-sekolah. Apalagi, kegiatan seperti itu akan sangat
membantu pihak sekolah untuk mengenalkan aneka ragam bentuk sastra dan
pembelajarannya kepada siswa.
Dari
pertemuan itu juga terbaca rendahnya minat baca sastra guru dan siswa. Hal itu
berhubungan dengan kurangnya minat, tidak memadainya kesejahteraan untuk
mengonsumsi sastra, sedikitnya informasi mengenai sastra Sunda, kurang (tidak)
tersedianya bahan-bahan bacaan sastra, serta tidak adanya akses untuk memasuki
sastra Sunda secara cepat dan akurat. Apalagi jika itu berhubungan dengan
teknik pembelajaran basa dan sastra Sunda.
Bergulirnya
otonomi daerah serta menguatnya berbagai hal yang berhubungan dengan lokalitas
memberi semangat baru pula kepada sejumlah sastrawan Sunda. Apa yang dilakukan
PPSS adalah gejolak terpendam yang kemudian mendapat sambutan pula dari publik,
khususnya para guru di sekolah-sekolah.
Hal
itu juga terlihat jelas ketika PPSS menggelar Sastra Sunda Saba Sakola pada Mei
2007 di Pakenjeng, Kecamatan Rancabuaya, Kabupaten Garut. Antusiasme guru dan
siswa sekolah dasar hingga menengah terlihat besar. Kehausan mereka untuk
mengenal lebih jauh beragam sastra Sunda tampak terobati oleh peristiwa langka
itu. Sayang, acara itu hanya dapat dilangsungkan satu hari. Tentu saja ini
berhubungan erat dengan berbagai hal yang secara teknis memang berat dan mahal.
Keperluan realistis
Memang
tak cukup satu hari agar pertemuan semacam itu dapat berlangsung terus-menerus.
Titik temu para sastrawan dengan guru dan pelajar lewat acara semacam Saba
Sastra itu, terutama di daerah, merupakan penguatan untuk mewujudkan gagasan
agar sastra Sunda kembali menjadi keperluan kolektif masyarakat Sunda saat ini
dan nanti. Keperluan itu sebetulnya realistis dan nyata.
Namun,
kebijakan dan perhatian pemerintah daerah dan wilayah/provinsi yang kurang
terhadap dunia pendidikan, khususnya sastra Sunda, harus diubah dengan cara
proaktif dari para sastrawan dan tentu saja guru. Lewat pintu masuk semacam
PPSS atau organisasi lainnya, yang memang peduli dan berhasrat besar untuk
memajukan sastra Sunda, sastrawan Sunda dapat mendesak pemerintah untuk
merevisi kebijakan mereka dalam pendidikan atau pembelajaran basa dan sastra
Sunda di sekolah.
Begitu
pula peran dewan sekolah dan pemerhati budaya Sunda agar mengetahui alokasi
anggaran untuk penyebaran karya-karya sastra Sunda di sekolah-sekolah. Maka,
akan ada kontrol, berapa dan sejauh mana karya-karya sastra Sunda tersebar di
SD, SMP, dan SMA. Selama ini, terutama sebelum menguatnya otonomi, kita mungkin
melihat peta buta dalam penyebaran karya sastra Sunda untuk sekolah dan
perpustakaan umum. Maka, di zaman keterbukaan saat ini penyebaran karya sastra
di sekolah harus dapat dilihat keberadaannya serta dapat dikontrol
efektivitasnya.
Kontrol
terhadap dunia pendidikan kita memang harus diperketat, terutama karena
kecenderungan korupsi dalam dunia pendidikan tetap saja kuat. Penyalahgunaan
dana BOS dan berbagai hal lain yang mengindikasikan kejahatan dalam dunia
pendidikan masih kuat. Pada pertemuan guru-guru Basa dan Sastra Sunda SD, SMP,
dan SMA se-Kota dan Kabupaten Bandung, serta beberapa wakil Ketua MGMP dari
berbagai kota di Jawa Barat di Gedung YPK, 9-11 Mei 2007, terungkap bahwa tak
satu pun dari mereka menerima kurikulum KTSP Basa Sunda yang seharusnya mereka
terima dari Kantor Wilayah Dinas Pendidikan Jawa Barat.
Padahal,
tentu saja kurikulum baru yang akan menjadi pedoman guru untuk mengajar itu
seharusnya sudah mereka terima. Kita tahu bahwa anggaran untuk mencetak
kurikulum dan menyebarkannya pasti mencapai miliaran rupiah. Harus serius
Jika
persoalan kurikulum saja-yang alokasi dananya tentu lebih sedikit daripada
bantuan pengadaan buku karya sastra atau buku pelajaran di sekolah-tidak
sampai, para guru dalam MGMP dan organisasi semacam PPSS mungkin bisa melakukan
semacam gugatan hukum jika memang terbukti ada penyalahgunaan dalam hal
tersebut. Sebab, dalam kebutuhan pengadaan buku sastra dan buku pel-ajaran di
sekolah, peran guru sangat penting. Tanpa inisiatif mereka, bahan ajar utama
dan bahan ajar pembantunya tidak akan sampai sehingga pembelajaran basa dan
sastra Sunda terhambat, atau malah gagal karena tidak ada atau kurang bahan.
Masuknya
sastrawan ke sekolah sebagai penguat apresiasi tentu akan lebih mudah apabila
dasar-dasar apresiasi hingga kritik basa dan sastra Sunda telah ada sebelumnya
di sekolah. Salah satu petunjuk kuatnya adalah adanya bahan-bahan karya sastra
itu di sekolah. Bila tidak, jurang apresiasi akan makin melebar dan sastrawan
masuk ke sekolah atau saba sakola akan lama untuk beradaptasi.
Meskipun
bahan-bahan sastra itu belum ada karena berbagai hal, kegiatan sastrawan masuk
sekolah atau memberi penguatan apresiasi langsung ke daerah-daerah jangan
sampai surut, apalagi jika ada sejumlah sponsor swasta yang punya perhatian
besar terhadap hal ini. Alanglah tidak wajar jika pemerintah provinsi dan
pemerintah setempat (tiap daerah) tidak serius memperjuangkan pendidikan basa
dan sastra Sunda yang serius ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar