Jumat, 21 Desember 2012

Politik Dan Birokrasi



A.    POLITIK
Politik bisa diartikan sebagai strategi dan upaya untuk memperoleh kekuasaan, politik dapat mencakup aspek-aspek, seperti  kekuasaan, negara, hubungan-hubungan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, pembagian dan alokasi,dll.
            Pada umumnya dapat dikatakan bahwa poolitik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentkan tujuan-tujuan dari sistem itu  dan melaksanakan tujuan tersebut. Pengambilamn keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilh itu.
            Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu diperlukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policy) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi dari sumber-sumber dan resources yang ada.
            Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) danj bukan tujuan pribadi seseorang. Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang-seorang (individu)


B. Sejarah Konsep Birokrasi
                Konsep birokrasi dimunculkan oleh M De Gourney, melalui surat-surat tertanggal 1 Juli 1764 yang ditulis Baran De Grim, menunjuk pada gagasan Gourney yang mengeluh tentang pemerintahan yang melayani dirinya sendiri. De Gourney menyebutkan bahwa kecenderungan itu sebagai suatu penyakit yang disebutnya bureaumania.
            Ide tentang birokrasi bukan sesuatu yang baru, keluhan atas pemerintah bukanlah suatu hal yang baru. Itu semua akan tumbuh seiring dengan pembentukan pemerintahan sendiri. Oleh karenanya para filsuf memberikan kontribusi pemikirannya bahwa seharusnya prinsip-prinsip pemerintah haruslah dijalankan oleh orang-orang yang cakap dan baik
            Machiavelli misalnya, dalam nasihatnya kepada pangeran, meminta pangeran memilih menteri yang cakap dan menggaji mereka agar mereka tidak mencari penghasilan dari sumber lain. Bahkan ide tentang pemerintahan yang efisien sangat akrab di Cina jauh sebelum masehi. Diantaranya ide tentang senioritas. Sementara pada 337 SM, Shen Pu-Hai menulis serangkaian prinsip yang sangat erat terkait dengan prinsip yang dikembangkan dalam teori Administrasi abad ke-20.
            Sejak kemunculan gagasan De Gourney, istilah birokrasi diadopsi secara luas dalam kamus besar politik di Eropa selama abad ke 18. Istilah Perancis Bureaucratie ini dengan cepat diadopsi dalam makna yang sama di Jerman dengan sebutan bureaukratie (kemudian menjadi burokratie) di Italia menjadi burocrazia, dan di Inggris menjadi bureaucracy.
         
C. Definisi Birokrasi
1. Birokrasi dalam Bahasa Inggris, Bureaucracy berasal dari kata Bureau (berarti meja) dan Cratein (berarti kekuasaan), dimaksudkan adalah kekuasaan berada pada orang-orang yang dibelakang meja.
2. Bintoro Tjokroamidjojo
            Menurrut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) birokrasi “dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”
Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.
3. Blau dan Page
            Blau dan Page (1956) mengemukakan bahwa birokrasi “sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Jadi menurut Blau dan Page birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala dalam didalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
4. Ismani
            Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan “Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien”.
5. Fritz Morstein Marx
            Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamindjojo (1984) mengemukakan bahwa birokrasi adalah “Tipe organisasi yang digunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan.
6. Riant Nugroho Dwijowijoto
            Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijiowojoto (2004) menjelaskan bahwa “birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala yang besar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa “Di dalam masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya, birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai pegawai negeri sipil.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah suatu prosedur yang efektif dan efisien yang didasari oleh teori dan aturan yang berlaku serta memiliki spesialisasi menurut tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi/institusi.


D. Ciri-Ciri Birokrasi
          Ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber adalah:
  • Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis. (Administratice offices are organized hierarchically)
  • Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office has its own area of competence)
  • Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil cervants are appointed, not electe, on the  basis of technical qualifications as determined by diplomas or examination)
  • Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau kedudukannya. (Civil servants receive fixed salaries according to rank)
  • Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole, or at least primary, employment of the civil servant)
  • Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or her office)
  • Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the official is subject to control and discipline)
  • Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata. (Promotion is based on superiors judgement)
E. Karakteristik Birokrasi
            Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa birokrasi dimaksudkan sebagai kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang berada di belakang meja, karena segala sesuatuya diatur secara legal dan formal oleh para birokrat. Namun diharapkan dalam pelaksanaan kekuasaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas, karena setiap jabatan diurus oleh orang (petugas) yang khusus.
            Seperti dinyatakan oleh Blau dan Page, bahwa birokrasi dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi yang besar. Hal itu hanya dapat berlaku pada organisasi besar seperti organisasi pemerintahan, karena pada organisasi pemerintahan segala sesuatunya diatur secara formal, sedangkan pada organisasi kecil hanya diperlukan hubungan informal. Selama ini banyak pakar yang meneliti dan menulis tentang birokrasi bahwa fungsi staf pegawai administrasi harus memiliki cara-cara yang spesifik agar lebih efektif dan efisien, sebagai berikut (Syafiie, 2004-90) :
1.      Kerja yang ketat pada peraturan (rule)
2.      Tugas yang khusus (spesialisasi)
3.      Kaku dan Sederhana (zakelijk)
4.      Penyelenggaraan yang resmi (formal)
5.      Pengaturan dari atas ke bawah (hierarkis)
6.      Berdasarkan Logika (rasional)
7.      Tersentralistik (otoritas)
8.      Taat dan Patuh (obedience)
9.      Tidak Melanggar Ketentuan (dicipline)
10.  Terstruktur (sistematis)
11.  Tanpa pandang bulu (impersonal)
Hal-hal tersebut diatas merupakan prinsip dasar dan karakterisitik yang ideal dari suatu birokrasi. Karakteristik tersebut idealnya memang dimiliki oleh para birokrat (pegawai negeri sipil) tidak lain agar tugas-tugas administrasi yang besar dapat dilaksanakan secara efeapai ktif dan efisien sehingga tujuan organisasi dapat tercapai sesuai yang direncanakan. Dengan demikian pendapat sebagian masyarakat selama ini yang cenderung negatif paling tidak dapat diluruskan.

F. Tipe Ideal Birokrasi
          Dengan mengutip pendapat Max Weber seorang sosiolog Jerman, Tjokroamidjojo (1984:72-73) mengemukakan ciri-ciri utama dari struktur birokrasi didalam tipe idealnya, adalah:
1.      Prinsip Pembagian Kerja
Kegiatan-kegiatan reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dibagi di dalam cara-cara yang tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Dengan adanya prinsip pembagian kerja yang jelas ini dimungkinkan pelaksanaan oleh tenaga-tenaga spesialisasi dalam setiap jabatan, sehingga pekerjaan akan dapat dilaksanakan dengan tanggung jawab penuh dan efektif.


2.      Struktur Hierarkis
Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarkis, yaitu jabatan yang lebih rendah berada dibawah pengawasan atau pimpinan dari jabatan yang lebih atas. Pejabat yang lebih rendah kedudukannya harus mempertanggungjawabkan setiap keputusan kepada pejabat atasannya.
3.      Aturan dan Prosedur
Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada suatu sistem peraturan yang konsisten, Sistem standar tersebut dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan kegiatan tanpa melihat pada jumlah orang yang terlibat didalamnya
4.      Prinsip Netral (tidak memihak)
Pejabat yang ideal dalam suatu birokrasi melaksanakan kewajiban di dalam semangat “formailistic impesonality” (formil non pribadi), artinya tanpa perasaan simpati atau tidak simpati. Dalam prinsip ini seorang pejabat didalam menjalankan tugas jabatannya terlepas dari pertimbangan yang bersifat pribadi dalam urusan jabatan, berarti suatu prakondisi untuk sikap tidak memihak dan juga untuk efisiensi.
5.      Penempatan Didasarkan atas karir
Penempatan kerja di dalama organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang. Didalam suatu organisasi birokrasi, penempatan kerja seorang pegawai didasarkan atas karier, ada sistem promosi, entah atas dasar senioritas atau prestasi atau kedua-duanya, Kebijaksanaan kepegawaian demikian dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan tumbuhnya “esprit de corps” atau jiwa korps diantara para anggotanya.
6.      Birokrasi Murni
Pengalaman menunjukan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi dilihat dari segi teknis akan dapat memenuhi efisiensi tingkat tinggi, Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan jauh lebih efisien daripada organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas birokrasinya.


G. Etika Birokrasi
Etika Birokrasi adalah suatu “Norma atau nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi keseluruhan aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum atau masyarakat.
Penerapan etika birokrasi dalam pemerintahan dituangkan dalam kode etik Pegawai Negeri Sipil dalam PP no.42  tahun 2004 dan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik dalam Keputusan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara nomor63/KEP/M.PAN/7/2003. Secara khusus dilingkungan Departmen Keuangan beberapa unit telah memiliki kode etik pegawai, yaitu Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea Cukai, sedangkan beberapa unit lainnya sedang menyusun kode etik pegawai antara lain; Direktorat Surat Utang Neagara pada Ditjen Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Badan Pengawas Pasar Modal.
1.      Dasar Hukum ditetapkannya Etika Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut:
a.       Pasal 5 ayat (2), pasal 27 ayat(1), dan pasal 28 dalam Undang-undang Dasar 1945
b.      Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999
c.       Undang-undang nomor 28 tahun 1980 tentang Peraturan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
d.      Peraturan pemerintah Nomor. 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri.
Pada umumnya, penyusunan kode etik minimal didasari oleh empat aspek pertimbangan sebagai berikut:
1.      Profesionalisme
Keahlian khusus yang dimiliki oleh seseorang baik yang diperolehnya dari pendidikan formal (dokter, akuntan, pengacara, dll) dari bakat (penyanyi, pelukis, pianis, dll)serta dari kompetensi mengerjakan sesuatu (direktur, pegawai, pejabat, dll)
2.      Akuntabilitas
Kesanggupan seseorang untuk mempertanggungjawabkan apa pun yang dilakukannya berkaitan dengan profesi serta peranannya sehingga ia dapat dipercaya. Misalnya seoarng auditor yang memeriksa laporan keuangan sebuah perusahaan. Ia harus dapat mempertanggungjawabkan hasil pemeriksaan yang dibuatnya sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
3.      Menjaga Kerahasiaan
Sebuah kemampuan memelihara kepercayaan dengan bersikap hati-hati dalam memberikan informasi. Seorang profesional harus mampu menyeleksi hal-hal yang bisa diinformasikan kepada umum dan informasi yang perlu disimpan sebagai sebuah kerahasiaan. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi sebuah perusahaan.dan profesi yang dijabatnya. Misalnya seorang konsultan merupakan orang kepercayaan sebuah perusahaan, ia bisa mengetahui seluruh seluk-beluk perusahaan tersebut, tapi hatus menjaga informasi yang dimiliknya agar tidak sampai ke pihak luar yang tidak berkepentingan.
4.      Independensi
Sikap netral, tidak memihak salah satu pihak menyadari batasan-batasan dalam mengungkapkan sesuatu juga merupakan salah satu pertimbangan kode etik. Misalnya, untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih dan merugikan perusahaan. Seorang manajer yang bisa menjaga sikap independennya akan lebih dipercaya kedua belah pihak sehingga akan membantu dalam penyelesaiannya kasus perselisihan yang dihadapinya.
Prinsip lain yang juga bisa dijadikan paramater dalam pelaksanaan birokrasi dapat merujuk pada prinsip-prinsip Good Governance yang meliputi pertama, partisipasi masyrakat, kedua, tegaknya supremasi hukum, ketiga transparansi, keempat, kepedulian kepada stakeholder, kelima berorientasi kepada konsensus, keenam, kesetaraan, ketujuh efektifitas dan efisiensi, kedelapan akuntabilitasdan kesembilan, visi strategis.
H. Pelaksanaan Birokrasi Indonesia
Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khusunya semasa orde baru dimana yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biayadan ketidakpastian siapa yang bertanggungjawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak dapat dibedakan.
Mengutip catatan guru besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengenai fenomena birokrasi Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya,  wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyrakat.
Fenomena itu terjadi katena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim orde baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan.
Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan pejabat non karier. Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa orde baru. Bahkan kemudian muncul RUU Administrasi Pemerintahan saat ini turut mendapat respon yang cukup agresif dari para pejabat politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang berusaha menakomodasikan kepentingan jabatan politik mereka untuk dapat menduduki jabatan birokrasi.
2. 5. PROBLEMATIKA BIROKRASI
     Birokrasi adalah salah satu bentuk organisasi yang paling menonjol dalam masyarakat modern, namun tidak berarti kelemahan yang melekat pada birokrasi bukanlah semata-mata berdasarkan konotasi atau pandangan negatif, atau prasangka buruk belaka, tetapi kelemahan yang terungkap memang mempunyai dasar-dasar konseptual yang kuat.Kelemahan birokrasi umumnya berkisar pada empat hal, yakni standar efesiensi fungsional, penekanan yang berlebihan terhadap rasionalitas, impersonalitas, hierarki, penyelewengan tujuan, pita merah.
  1. STANDAR EFESIENSI FUNGSIONAL
Salah satu ciri birokrasi, baik yang telah berjalan secara rasional dan efesien maupun tidak, ialah birokrasi haruslah menetapkan standar efeseinsi fungsional.Misalnya untuk mengukur efesiensi secara fungsional.Persoalannya, bagaimana cara membuat efesiensi yang dapat di perlakukan secara fungsional itu.Peter Blau berpendapat bahwa Weber mengabaikan kemanfaatan dan kerugian relatif dari sistem senioritas dan sistem prestasi, yang dimaksudkan untuk memajukan personalia dan dalam penekanannya pada ororita hierarki Weber juga tidak memperbandingkan akibat-akibat dari kepatuhan mutlak bawahan kepada mereka yang mungkin menjadi lawan dalam menetapkan kebijakan.
  1. PENEKANAN BERLEBIHAN TERHADAP RASIONALITAS,IMPERSONALITAS, DAN HIERARKI
Dalam pemikiran Weber, pada setiap organisasi berlaku aturan-aturan formal yang secara nyata akan mengendalikan prilaku anggota-anggota organisasi.Hal ini berarti dikesampingkannya struktur informal.Para analis birokrasi melontarkan kritik terhadap konsep Weber itu yang dipandang memberikan tekanan yang berlebihan terhadap rasionalitas,impersonalitas, dan hierarki dalam hubungan-hubungan sosial birokratik.
  1. PENYELEWENGAN TUJUAN
Tanda-tanda dari organisasi tidak sehat adalah penyelewengan tujuan, kekakuan yang berlebihan, pita merah, pelakuan tidak berpribadi, dan penolakan secara tidak masuk akal terhadap perubahan.
Merton menyebutkan penyakit-penyakit ini sebagai “ bureaucratic dysfunctions “ dan mencirikannya dengan istilah “trained incapacity”.Ketidak mampuan terlatih ini menunjuk pada suatu kondisi ketika kemampuan seorang berfungsi secara tidak tepat dan membuta.
  1. PITA MERAH
Pita merah disebabkan oleh kecendrungan alamiah dari manusia yang berada dalam lingkungan birokratik untuk merutinkan aktifitas-aktifitas mereka.Karakterisasi Weber mengenai birokrasi sangat rasional dan amat tak perduli dalam melayani pembuat kebijakan dan publik, telah mendorong perhatian yang sungguh-sungguh pada ketetapan prosedur. Meskipun sasaran-sasaran pelayanan publik dapat mudah di ubah. Pita merah adalah suatu istilah yang di maksudkan untuk menunjukan adanya prosedur-prosedur birokratif yang mempunyai ciri ketaatan mekanis pada peraturan, formalitas yang berlebihan, dan lebih banyak memperhatikan hal-hal rutin, dan kompilasi sejumlah informasi eksternal yang mengakibatkan berkepanjangannya penundaan dan kemandekan. Konsep pita merah telah memberikan ekspresi negatif, yang di gambarkan  Alvin W. Gauldnar sebagai”aliansi,impersonalisasi, dan regulasi yang mempengaruhi birokrasi”.

3 komentar: